BAB 28: Overconfident or Narcissist

134 19 12
                                    

BRANDON

Selama satu jam ini aku berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Iin. Anehnya tidak marah sama sekali karena dia berbohong, terutama mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan. Biasanya aku sudah meradang, jika ada yang berbicara seperti itu.

Apakah benar aku egois dan selalu merasa benar dengan pikiran sendiri? Apa diri ini mulai masuk ke dalam tahap overconfidence sehingga berpikir semua cewek suka kepadaku? No! Aku tidak seperti itu.

Aku memejamkan mata, lantas mengusap wajah dengan kedua daun tangan. Embusan napas pelan keluar dari sela bibir ketika melihat sekarang sudah waktunya pergi ke arena basket untuk latihan. Iin pasti sudah ada di sana. Meski tidak marah kepadanya, tapi aku tidak bisa langsung memaafkan juga. Dia harus diberikan pelajaran atas kebohongan yang dilakukan.

Lima menit kemudian, aku sudah berada di kelas. Setelah mengambil tas, kaki ini melangkah menuruni anak tangga berniat keluar dari gedung menuju gedung lain, tempat arena basket berada.

"Tumben telat, Bran," sapa salah satu anggota basket begitu tiba di ruang ganti.

"Ngantuk banget tadi, jadi tiduran sebentar," sahutku berbohong.

"Tadi sampai dilempar penghapus papan sama Pak Guru," komentar teman satu kelasku cekikikan.

"Buka aib orang aja nih," ketusku dengan wajah mengerucut.

"Sakit tuh kepala," imbuh yang lain.

Aku tertawa singkat sambil geleng-geleng kepala. "Untungnya plastik jadi nggak benjol nih kepala."

Selesai berganti pakaian, kami bergerak ke arena. Pandangan beredar ke seluruh ruangan mencari Iin, tapi tidak ada. Ke mana dia? Bukannya sejak tadi sudah turun? Dia mengatakan mau ke sini tadi.

Ah, barangkali berubah pikiran jadi memilih pulang. Sesaat aku berniat menghubunginya, namun diurungkan. Sekarang waktunya fokus latihan, karena pertandingan tinggal tiga bulan lagi.

"Arini kenapa tidak datang hari ini?" tanya Pak Bambang melihatku. "Dia izin sama kamu, Bran?"

Aku menggeleng. "Nggak ada, Pak. Tadi katanya mau datang."

Iin tidak minta izin juga sama Pak Bambang. Aku langsung mengeluarkan ponsel dan memeriksa aplikasi BBM, barangkali dia mengirimkan pesan. Hasilnya nihil. Tidak ada pesan darinya. Ke mana Arini? Duh jadi kepikiran lagi.

"Arini bilang tidak masuk sama kamu, Bayu?" Pak Bambang mengalihkan paras kepada Bayu.

Laki-laki itu menggeleng dengan raut bingung.

"Ya sudah, kita latihan seperti biasa saja. Formasi lengkap juga." Pak Bambang meminta kami pemanasan.

Latihan berlangsung selama dua jam lebih. Selesai latihan, aku duduk dulu di arena sambil mendinginkan tubuh sebelum pulang. Kembali dilihat ponsel, tetap tidak ada pesan dari Iin. Gengsi juga jika harus menghubungi terlebih dahulu. Biarkan saja, barangkali sekarang dia sudah di rumah.

Lima belas menit kemudian, aku langsung bergerak ke parkiran bersiap pulang. Dalam hitungan detik motor kesayangan sudah membawa diri ini pergi meninggalkan pekarangan sekolah. Badan sudah lengket karena keringat. Tiba di rumah nanti langsung mandi agar lebih segar.

"Sudah pulang, Bran," sambut Mama seperti biasa.

Aku memeluk Mama dan memberi kecupan di keningnya. "Aku naik ke atas dulu ya, Ma. Keringetan nih. Lengket."

"Mama tunggu makan malam nanti ya. Sebentar lagi Papa juga pulang," ujar Mama sebelum kaki ini menapaki anak tangga.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang