ARINI
Brandon melihat dengan tatapan bingung, keningnya berkerut. Mata sayu hitamnya kini memandang gue lekat. Dia maju satu langkah ke depan, membuat kaki ini mundur ke belakang.
"Bohong kenapa, In? Apa lo pernah bohongin gue?" ujarnya di tengah semilir angin laut yang mulai kuat menyapa tubuh.
Haruskah berterus terang mengatakan kalau gue sama sekali nggak punya pacar? Gimana kalau nanti dia malah menjauh terus intimidasi lagi kayak sebelumnya? Nggak untuk sekarang. Bran belum boleh tahu tentang ini.
"Nggak, cuma tanya aja. Andai gue bohongin lo. Tapi pasti ada alasannya jika orang bohong, 'kan?" jelas gue cepat.
"Lo tiba-tiba tanya begini pasti ada alasannya juga, In," selidik Bran. Ternyata dia nggak percaya begitu aja.
Gue tertawa aneh sambil membetulkan poni yang ditiup angin. "Gu-gue tanya itu karena kita 'kan sekarang berteman. Bisa jadi suatu saat, salah satu di antara kita ada yang bohong. Maksudnya pengin tahu aja sih tanggapan lo," kata gue mencari alasan yang tepat.
Mata sayu Bran menyipit sebelum berujar, "Gue harus tahu alasannya dulu, baru bisa putuskan apakah bisa maafin atau nggak."
Semoga lo bisa terima alasan gue kenapa harus bohongin lo, Bran, bisik gue dalam hati.
"Eh, lihat tuh! Matahari mulai tenggelam," seru gue mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk ke arah Sang Surya.
Bran memutar tubuh menghadap fenomena pergantian sore menjadi malam itu. Senyuman yang sangat jarang terlihat ketika di sekolah, kini terukir di wajahnya.
"Gue paling suka lihat ini. Indah banget," ungkap Bran dengan pandangan masih lurus ke depan.
"Sama, gue juga suka. Thanks ya udah bawa gue ke sini."
"Gimana perasaan lo sekarang? Udah tenang?"
Kami berbicara tanpa melihat satu sama lain, karena masih fokus menyaksikan matahari yang sebentar lagi mulai menenggelamkan diri di ufuk barat.
Gue mengangguk. "Tenang banget."
"Kita pulang sebentar lagi ya. Tunggu matahari hilang dulu."
"Hmmm ...."
Asli nggak nyangka sih orang setengil Bran sekarang malah jadi penolong dalam hidup ini. Sekarang bisa melihat sisi peduli yang nggak pernah diperlihatkan di hadapan siswa lain. Gue bertekad ingin menjalin persahabatan yang tulus dengannya hingga nanti. Semoga Brandon nggak membenci diri ini, jika tahu telah dibohongi.
"Pulang sekarang, In. Hampir seharian lo pergi. Takut diomelin sama Om Yunus entar," ajak Bran setelah matahari menghilang sepenuhnya.
Kami berjalan beriringan meninggalkan Jembatan Cinta menuju tempat parkir.
"In." Bran menoleh ke kanan sebentar, begitu motor melaju meninggalkan area pantai Ancol.
"Apa?" tanya gue setengah berteriak.
"Senin gue jemput ya?"
Waduh! Bisa gawat nih kalau Uda David juga kuliah pagi. Bran pasti bisa kenali motor dan helmnya.
"Nggak usah, Bran. Gue pergi sendirian aja."
"Pacar lo jemput ya?" ujarnya kemudian.
Gue diam sesaat. Jauh di lubuk hati ingin mengakhiri kebohongan ini, namun nggak bisa. Kalau jujur sekarang yang ada Bran menjauh dan balik lagi seperti dulu. Paling nggak tunggu momen yang tepat dulu untuk mengatakan yang sesungguhnya. Dia harus percaya kalau gue nggak pernah berniat cari perhatian kayak cewek-cewek lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Novela JuvenilFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...