BAB 66: Kegusaran Hati

118 19 12
                                    

BRANDON

Mata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.

Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, 'kan?

"Trus lo mau, In?" Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.

Dia menggeleng lesu. "Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, 'kan?"

"Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In."

Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. "Lo kayak nggak tahu Papa aja."

Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.

Sejak tadi malam, aku memikirkan cara agar perjodohan ini tidak pernah terjadi. Kasihan Iin masih muda sekali untuk berumah tangga. Oke, sebenarnya secara usia dia sudah matang. Tapi tetap saja jangan sekarang. Diri ini belum siap jika harus kehilangannya. Apalagi setelah menikah Arini akan menetap di kampung halaman, karena pria yang dijodohkan bekerja di sana.

"Come on, Bran. Pikirkan gimana caranya?"

Buntu! Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Rasa takut kehilangan Iin membuatku kalut. Semakin dipikirkan, hati ini semakin resah.

Tiba-tiba aku tersentak sehingga posisi tidur berubah menjadi duduk, ketika sebuah ide tercetus di benak. Bagaimana jika kami membuat sandiwara dan mengatakan sedang berpacaran, dengan begitu pria yang akan dijodohkan akan mundur dengan teratur.

Sesaat kemudian kepala menggeleng cepat. Rencana itu tidak baik, karena bahaya juga jika pria tersebut mengadu kepada Om Yunus. Beliau jelas akan menentang keras hubunganku dan Iin, meski hanya sebatas sandiwara.

Otak yang tidak terlalu pintar ini hanya bisa pasrah ketika tak satupun ide bisa diproduksi dengan baik. Kepala hanya mampu terkulai lesu, pasrah. Aku tidak boleh egois. Jika seandainya Iin bahagia dengan pria itu, apalah arti kebahagiaanku? Selama ini aku hanya ingin melihatnya tersenyum riang, sehingga lesung pipi yang dalam itu terlihat jelas. Toh kami juga bisa bertemu sesekali. Harus belajar tidak bergantung juga dengan Arini.

Aku kembali merebahkan tubuh di kasur sambil menatap nanar plafon. Desahan pelan kembali keluar dari sela bibir. Andai saja diri ini masih terjaga dan Papa tidak pernah berkhianat, tentu sekarang bisa menjadi kesempatan bagiku untuk benar-benar menikahi Arini.

"Mikirin apa sih, Bran? Belum tentu Iin mau menikah sama lo," protesku pada diri sendiri.

Baru saja ingin memejamkan mata lagi, sebuah panggilan masuk ke ponsel. Ternyata Iin yang menelepon.

"Kenapa, In? Nggak bisa tidur juga ya?" tanyaku setelah menekan tombol terima.

"Hmmm ... kayaknya gue harus ngomong sama bos deh nanti, biar nggak disuruh masuk weekend ini."

Aku menelan ludah mendengar perkataan Iin. Apa artinya dia setuju untuk bertemu dengan pria itu? Tangan ini langsung mengusap keras wajah.

"Gue ikut ya?"

"Ikut ke mana?" Nada suara Iin terdengar bingung.

"Ikut lo ke kampung. Udah lama nggak ke sana. Terakhir waktu libur setelah lulus SMA."

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang