ARINI
Selesai makan dan bercerita, kami langsung pulang. Orang-orang di rumah pasti khawatir menunggu gue pulang. Apalagi Bran bilang Papa dan Uda David sudah keliling mencari ke rumah teman-teman.
"Gue pastikan mereka akan mendapatkan pelajaran yang setimpal, In," cetus Bran sebelum kami meninggalkan restoran cepat saji.
Awalnya gue protes, kasihan juga kalau mereka sampai dikeluarkan dari sekolah. Bran mengemukakan pendapat, katanya biar ada efek jera jadi nggak terulang lagi kejadian yang sama kepada siapapun.
"Mental lo kuat, In. Coba kalau kejadian sama yang mental lemah, bisa bunuh diri kayak di film-film 'kan bahaya."
Perkataan Brandon ada benarnya juga. Akhirnya gue manggut-manggut saja. Mereka nggak mikir gimana perasaan gue waktu dikunci tadi sore. Hah! Semoga dengan hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah nanti, mampu menyadarkan mereka berlima dan bisa berubah menjadi lebih baik lagi.
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit, akhirnya kami tiba di pekarangan rumah. Ternyata Om Sandy dan Tante Lisa sudah sampai duluan.
Begitu turun dari motor, seluruh anggota keluarga plus kedua orang tua Brandon sudah menunggu di teras. Semuanya memperlihatkan kelegaan di wajah masing-masing, termasuk adik bontot yang biasanya nyebelin.
Mama langsung membentangkan tangan menyambut diri ini dalam pelukan dengan berurai air mata. Duh, gue 'kan nggak kenapa-napa. Well, mungkin akan kenapa-napa sih kalau Brandon nggak datang malam ini.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Mama sambil mengusap lembut wajah ini. Netranya memandangi gue lekat.
"Alhamdulillah Ari nggak pa-pa, Ma. Nih lihat, masih sehat wal afiat."
"Sempat kesakitan tuh perutnya karena lapar, Tan," komentar Brandon disambut delikan mata dari gue.
"Tuh, dibilangin marah." Brandon menyipitkan mata.
"Kamu kenapa sampai dikurung, Ri?" Papa nggak kalah khawatir sekarang.
Om Sandy dan Tante Lisa mengangguk serentak, sepertinya pertanyaan mereka terwakilkan oleh Papa.
"Masuk dulu ya, nanti Ari ceritakan di dalam."
Kami semua masuk ke dalam rumah, lantas mengambil posisi duduk di tempat masing-masing. Gue duduk di antara Mama dan Papa, sementara Bran duduk di sofa panjang satu lagi tepat di samping Om Sandy. Kakak dan adik gue duduk di kursi single.
"Jadi bagaimana? Ceritakan semua kepada Mama dan Papa, Ri," pinta Mama dengan raut cemas.
Gue menceritakan lagi apa yang terjadi hari ini. Sebenarnya malas mengingat lagi kejadian tadi. Pengin banget memaki mereka berlima, tapi takut juga karena bisa dikeroyok nanti.
"Semua karena salah paham, Om, Tante," imbuh Brandon, "mereka berpikir kalau Brandon dan Iin punya hubungan khusus, jadi kesal dan intimidasi Iin. Brandon minta maaf, karena hal ini terjadi juga kesalahan Brandon."
Duh, gentle juga sahabat gue ini ternyata. Eh, tapi ini bukan salah Brandon.
"Mereka aja yang sok berkuasa di sekolah, Ma. Nggak hanya sama Ari aja, udah banyak korbannya tapi nggak mau lapor karena takut ditekan lagi sama geng Chibie," jelas gue nggak mau Bokap dan Nyokap salahkan Bran.
"Tapi, In—"
"Bukan salah lo, Bran. Korbannya banyak kok. Cek aja besok," sela gue sambil menatap nyalang Bran.
Kening Mama dan Papa berkerut. Uda David dan Donny sama-sama menahan geram. Nggak tahu marah kepada siapa, apakah kepada geng Chibie atau Bran.
"Saya mewakili keluarga minta maaf karena ternyata hal ini ada kaitannya dengan Brandon," ucap Om Sandy menengahi. "Sebagai pertanggung jawaban, saya akan datang ke sekolah besok dan meminta kepala sekolah untuk memberikan hukuman kepada mereka agar kejadian serupa tidak terulang lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Ficção AdolescenteFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...