BAB 24: Rasa Penasaran

149 17 9
                                    

BRANDON

Hampir dua hari ini, aku berpikir tentang keanehan dari cerita Iin tentang pacarnya. Tak hanya itu, dia menunjukkan gelagat mencurigakan. Apalagi ketika di Ancol Arini menyinggung masalah kebohongan. Apa dugaanku benar bahwa dia berbohong tentang pacarnya?

"Kenapa, Bran? Kamu sepertinya sedang banyak pikiran," tanya Mama ketika kami sedang sarapan.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak, Ma. Cuma kepikiran pelajaran aja," jawabku berbohong.

Kenapa aku jadi ikut-ikutan berdusta? Hufh!

"Itu baru anak Papa. Sepertinya Arini membawa dampak positif untuk kamu," puji Papa dengan raut wajah bangga.

Aku hanya menggaruk kepala sambil nyengir. Segera dihabiskan sarapan, karena harus menjemput Arini sebelum berangkat sekolah.

"Lho kenapa buru-buru, Bran?" Mama melihatku dengan kening berkerut.

"Aku mau jemput Iin dulu sebelum ke sekolah, Ma. Kasihan kalau harus naik angkot."

Papa berdeham-ria mendengar perkataanku. Apa-apaan itu maksudnya?

"Iya, kasihan tuh kemarin temani Mama belanja seharian," sahut Mama.

"Pergi dulu ya, Ma, Pa."

Aku bersalaman dengan mereka berdua, setelah itu langsung keluar dari rumah. Tiba di garasi, segera kupacu motor meninggalkan kediaman keluarga.

Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di depan rumah Iin. Seperti biasa, pukul 06.00 jalanan masih lengang.

"Assalamu'alaikum, Tante," sapaku saat melihat Tante Asma sudah berada di depan rumah sepagi ini.

"Wa'alaikum salam. Eh, ada Brandon. Jemput Ari ya?" tebaknya sambil melangkah membukakan pagar.

"Iya, Tan." Aku langsung turun dari motor.

"Ari masih di rumah. Mau masuk dulu?"

"Brandon tunggu di sini aja, Tan. Sebentar lagi juga keluar."

Tante mengulurkan tangan dan mengembangkan telapak tangannya ke depan. "Sebentar, Tante panggilkan dulu biar kamu tidak kelamaan nunggu."

Beliau langsung bergegas memasuki rumah dan memanggil Iin. Aku memilih berdiri di luar pagar, tidak enak juga bertandang ke rumah orang pagi-pagi begini. Tidak sampai lima menit, Arini sudah muncul di sela pintu.

Seperti biasa sahabatku, rasanya masih canggung menyebutnya begitu, tapi memang faktanya kami sekarang bersahabat, 'kan? Ah, intinya Iin terlihat seperti biasa dan tidak ada yang berubah. Rambut masih diikat ekor kuda dengan poni menutupi kening. Sebuah tas ransel menggantung di bahu. Tapi ada yang berbeda hari ini. Dia mengenakan celana panjang di balik roknya.

"Ari pergi dulu, Ma, Pa," pamitnya sebelum benar-benar keluar dari rumah.

Dia segera menghampiriku dengan setengah berlari.

"Pelan-pelan aja. Nggak bakalan telat kok," ujarku khawatir dia nanti jatuh.

"Dibilangin nggak usah jemput, masih dijemput juga," celotehnya ketika duduk di jok belakang motor.

"Suka-suka gue dong. Ada larangan jemput sahabat sendiri?"

Sebuah cubitan terasa di pinggang.

"Lo hobby banget ya cubit-cubit. Sama pacar kayak gini juga nggak?" pancingku.

"Udah jalan gih, nanti telat." Dia menepuk pundak ini.

Sesuai tebakan, Iin kembali menghindar saat membahas pacarnya. Aku tidak lagi membahas hal itu, hanya menyalakan motor lantas memacunya dengan kecepatan sedang. Bisa memar pinggang jika ngebut di jalan.

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang