BRANDON
Setiap akhir minggu, aku selalu lari pagi di sekeliling perumahan sambil menghirup udara segar yang belum terkontaminasi asap kendaraan. Perasaan menjadi lebih tenang dibanding sebelum-sebelumnya. Ada damai di hati beberapa hari belakangan ini.
Selesai lari lima belas menit, aku kembali lagi ke rumah bersiap untuk sarapan. Mama pagi-pagi sudah rapi seperti biasa. Katanya biar selalu terlihat cantik ketika Papa ada di rumah. Mereka berdua membuatku iri. Sudah tua tapi masih pamer kemesraan di depan anak.
"Mandi dulu gih, Bran. Pasti bau asem tuh," suruh Mama sebelum menata meja makan.
"Iya, ini mau mandi tapi dinginin badan dulu."
"Arini jadi ke sini 'kan hari ini?" tanya Mama.
"Katanya jadi sih. Aku udah bilang nggak usah, karena habis demam. Eh anaknya masih kekeh mau datang juga," jawabku.
"Tandanya dia anak yang tepat janji dan bertanggung jawab," sela Papa tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
"Setuju, Pa. Pendapat Mama juga begitu. Arini anaknya cantik, pintar, sopan dan tepat janji juga." Mama dengan segala pujiannya.
Sepertinya beliau sudah jatuh cinta kepada Arini sejak pertama kali bertemu. Kemarin juga cemas waktu diberitahu Iin sedang sakit. Malah mau datang ke rumahnya untuk berkunjung. Aduh Mama kenapa sih?
"Papa jadi penasaran seperti apa anaknya?" Papa mengerling usil ke arahku.
Aku tahu apa yang ada di pikirannya sekarang.
"Kamu yakin cuma berteman dengan Arini, Bran?" Mama juga ikut-ikutan.
"Iya teman biasa kok," tanggapku.
Mama senyam-senyum melihatku.
"Bagus. Papa ingin kamu fokus sekolah dulu, terus kuliah. Setelah itu baru pikirkan pendamping. Masih terlalu dini untuk pacaran," komentar Papa menepuk bahuku pelan.
Aku setuju dengan Papa, lebih baik enjoy tanpa harus dibebani dengan hubungan asmara. Paling tidak bisa jalan dengan satu atau tiga orang cewek tanpa status. Tapi dengan Arini, aku hanya ingin menjalin hubungan pertemanan. Entah kenapa sejak beberapa kejadian yang menimpa Iin, membuatku ingin selalu melindunginya. Sepertinya dia akan menempati posisi khusus di hatiku.
Apa yang kalian pikirkan? Posisi khusus bukan berarti harus menjadi pacar, 'kan? Aku hanya tidak ingin merusak hubungan yang telah kami mulai sekarang, jika melibatkan perasaan seperti cinta dan semacamnya.
"Aku mandi dulu, Ma. Setelah itu turun lagi untuk sarapan," ujarku sebelum naik ke lantai dua.
Begitu tiba di kamar, aku mengambil ponsel dari arah nakas dan memeriksa pesan masuk di BBM. Ternyata Arini mengirimkan pesan lima belas menit yang lalu.
Arini: Gue datang sebelum makan siang, boleh nggak?
Iin mau datang sebelum makan siang? Semakin lama dia di rumah, semakin bagus. Kami bisa main juga nanti. Sesaat sebuah ide tercetus di benak ini.
Me: Boleh. Datang aja. Nggak ada batasan mau datang ke sini kok.
Tidak lama kemudian sebuah pesan kembali masuk ke ponsel.
Arini: Beneran nih? Gue mau bantu Tante Lisa masak.
Aku tertawa membaca pesannya. Masak? Arini bisa masak?
Me: Emang lo bisa masak?
Arini: Bisa dong. Lo suka makan apa? Entar gue bikinin.
Wow! Unpredictable teman baruku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Ficção AdolescenteFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...