BRANDON
Besok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.
Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.
Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Gimana kabar lo sekarang?" tanya Gadis.
"Baik kayak yang lo lihat," jawabku apa adanya.
"Maksud gue hati lo, Ngeng." Dia mengerling ke dadaku yang tertutup baju kaus.
"Baik juga nggak ada penyakit. Gue sehat, Dis. Apa-apaan sih lo?"
Gadis mengerang kesal sambil mengacak rambut pendek sebahunya. "Bukan itu maksud gue. Perasaan lo, Dudul."
"Aman-aman aja. Apaan sih, Dis?" protesku.
"Nggak ada rasa takut kehilangan Arini?" Gadis mendesah sebal. "Arini besok mau nikah, Bego! Setelah itu dia akan tinggal di sini. Kalian nggak ketemu lagi. Apa lo masih oke-oke aja dengan itu?"
"Kan masih bisa video call, teleponan dan ke sini juga ketemu sama Iin, Dis," tanggapku berusaha terlihat santai. Padahal hati ini sudah ketar-ketir membayangkan tidak akan bertemu lagi dengan Iin.
"Yakin?" selidik Gadis tidak percaya.
Aku mengangguk cepat.
"Bohong!" tudingnya.
Gadis mengarahkan telunjuk ke hidung ini dengan wajah berkerut. "Lo nggak bisa bohong sama gue, Ngeng. Gue kenal lo sejak kecil banget, jadi tahu kalau sekarang lo lagi nggak jujur."
Sejak kemarin Gadis memberi respons berlebihan atas pernikahan Iin. Dia selalu menanyakan bagaimana perasaanku.
Aku menelan ludah mendengar perkataan Gadis. Arini saja susah untuk dibohongi, apalagi sepupuku yang sudah kenal diri ini sejak masih bayi.
"Jawab dengan jujur. Apa lo benar-benar anggap Arini hanya sebagai sahabat?" Gadis sekarang memangku tangan di depan dada.
"Apa sekalipun nggak pernah lo lihat dia sebagai wanita, bukan sahabat?" sambungnya lagi menatap serius.
Aku menarik napas panjang. "Trus lo mau gue jawab apa, Dis? Apapun jawaban gue nggak akan mengubah apa yang akan terjadi besok."
"Paling nggak lo harus kasih tahu Arini, Ngeng. Kali aja dia berubah pikiran dan membatalkan pernikahan."
Aku menggeleng tegas, karena hal itu tidak akan terjadi. Lagi pula Iin juga belum tentu suka kepadaku.
"Kenapa? Lo takut? Cemen banget sih!"
"Bukan gitu, Dis. Om Yunus tahu gue ini rusak, mana mau terima menantu kayak gue. Lagian kalau Iin membatalkan pernikahan, apa dia mau nikah sama gue?" Aku menarik napas pendek. "Gue juga belum berani berkomitmen, Dis. Lo tahu sendiri, 'kan?"
Gadis memegang bahuku dan melihat dengan tatapan menyeramkan sekarang.
"Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi sebelum dicoba, Ngeng." Gadis mengeluarkan ponsel, lantas berdiri. "Gue harus telepon Arini sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...