BRANDON
Aku merasa lega ketika Iin mengusulkan Tante Asma yang akan menjemput raporku. Paling tidak bisa berbagi kebahagiaan dengan orang yang telah dianggap seperti orang tua sendiri. Suasana hati sekarang tidak menentu, ada gugup karena menunggu nilai keluar dan bahagia karena bisa mendapatkan yang diinginkan sebentar lagi. Semoga saja prediksiku tidak meleset.
Tiga puluh menit berlalu, Iin masih belum naik ke atas. Ke mana dia? Kenapa lama sekali berbicara dengan Rafly? Biasanya mereka hanya berbincang paling lama lima belas menit.
Apa harus turun ke bawah mencarinya? Ah, tidak enak juga. Tapi, bagaimana jika terjadi apa-apa dengan sahabatku itu? Tante Asma dan Om Yunus bisa menggorok leherku.
Baru saja akan mencarinya ke lantai dasar, Iin muncul dari arah tangga. Aku langsung mengembuskan napas lega. Wait! Kenapa wajah Iin tampak lesu?
"Kenapa, In? Ada masalah?" tanyaku mendadak cemas.
Iin menggeleng pelan dengan wajah berkerut. Dia mengangkat kepala dan menatapku lama.
"Penyerahan rapor masih satu jam lagi, 'kan?" Iin bersuara.
"Iya. Kenapa? Nilai lo turun ya makanya lemes gitu," tebakku disambut cubitan di pinggang.
"Sakit, In," protesku sambil meringis. Siswa yang ada di dekat kami hanya geleng-geleng kepala, karena sudah terbiasa melihatku dan Iin seperti ini.
"Ke atap yuk! Gue mau curhat," ujar Iin menarik tangan ini menuju tangga ke lantai atas.
Sepertinya tebakanku benar. Iin sedang ada masalah. Apa mungkin dengan Rafly? Apa mereka putus? Senyuman terbit di wajah ketika membayangkan mereka putus, setelah menjalin hubungan kurang dari satu minggu. Apa kubilang, Arini memang tidak memiliki bakat berpacaran karena tingkat kepekaan minus. Haha!
Kami sekarang duduk bersisian di bangku, tempat favorit untuk berbincang. Lima orang siswa yang tadinya ada di sini, langsung turun ke bawah begitu melihatku dan Iin datang.
Arini menempelkan keningnya di lengan bagian atasku. Dia bergumam pelan seperti mengatakan sesuatu, namun tidak bisa didengar dengan jelas apa yang dikatakannya.
"Kenapa, In? Ada masalah? Cerita dong biar plong, jangan dipendam sendiri," pintaku sambil mengusap belakang kepalanya.
"Kak Rafly ngotot ajak kencan ke mall. Gimana dong?" Iin mendongakkan kepala dan melihatku dengan wajah memelas.
Aku tahu maksud tatapannya sekarang, Apalagi jika bukan memintaku menyusun rencana agar Tante Asma dan Om Yunus memberi izin untuk keluar. Mereka hanya mengizinkan putrinya keluar bersama denganku dan beberapa teman Iin yang sudah dikenal dekat.
"Nggak mau! Kalau terjadi apa-apa, gue yang dicari duluan," tolakku tegas.
"Lo ikut sama gue, Bran. Please!" rengek Iin.
Sekarang dia memperlihatkan sisi manja kepadaku.
"Maksud lo gimana nih? Gue ikut temani kalian kencan?"
Iin mengangguk cepat. "Satu-satunya cara, Bran. Mau ya?"
"OGAH!!" teriakku lantang.
Hei, kenapa aku bereaksi berlebihan seperti ini?
"Bran?" Kali ini paras Iin menunjukkan kesedihan.
"Nggak mau, In. Ngapain gue jadi nyamuk?"
"Siapa bilang lo jadi nyamuk? Double date, Bran. Mau ya? Ajak kek gebetan lo." Iin menarik-narik lenganku persis seperti anak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...