BAB 58: Mengetahui Kebenaran

130 19 12
                                    

BRANDON

Arini berlari ke dalam pelukan begitu aku merentangkan kedua tangan menyambutnya. Dia terisak di dada ini lama sekali. Kubiarkan dia melepaskan apa yang terasa, meski tidak tahu persis apa yang terjadi belakangan ini. Termasuk apa alasannya menjauh dariku.

Tangan ini membelai kepala belakang Iin, berusaha menenangkan. Mataku juga menghangat sekarang, bulir bening seakan ingin berlarian keluar. Akhirnya bisa bertemu Arini lagi dalam jarak dekat.

Perlahan pelukan melonggar, Iin memandang lekat wajahku. Senyum lembut tergambar di parasnya.

"Lo nangis, Bran?" tanya Iin sambil menyeka air mata yang turun di pipi.

Tentu saja aku menangis haru karena bisa berada di dekatnya lagi, setelah enam bulan tidak ada komunikasi yang terjalin dengan baik di antara kami. Kepala menunduk, lantas mengangguk.

"Ini pertama kali lo nangis loh," sambungnya.

Lo nggak tahu gimana rindunya gue selama ini, In, bisikku dalam hati.

Gengsi menghambatku mengatakan perasaan yang sebenarnya. Aku memilih diam tanpa mengutarakan apa yang dirasakan sekarang.

"Kenapa? Moza tinggalin lo?" tebak Iin membuatku tersenyum kecut.

"Apa gue bilang dia bukan cewek baik-baik. Lo sih ngeyel udah dibilangin," omelnya membuatku kembali menarik Iin ke dalam pelukan.

Gue nangis bukan karena tahu siapa Moza sebenarnya, In. Tapi karena bisa dengar omelan lo lagi, bisa lihat lo dari dekat kayak gini, bisa pegang tangan lo lagi. Hidup gue kembali normal kalau lo ada di sisi, gumamku dalam hati.

Sungguh aku tidak berani mengutarakan secara lisan kepada Iin. Rasanya setelah apa yang kulakukan dengan Moza tak lagi membuat diri ini patut bersama Arini.

"Sekarang cerita sama gue. Apa yang bikin dia tinggalin lo? Apa pernikahannya dibatalin?" cecar Iin sambil menarik tangan ini menuju bangku.

Nggak pernah ada rencana pernikahan dengan Moza, In. Gue hanya malu aja waktu lo tahu hubungan kami sejauh apa. Jika ada wanita yang ingin diperistri suatu saat nanti, gue ingin wanita itu adalah lo. Tapi gue nggak pantas lagi mendampingi lo. Lagi-lagi kalimat itu hanya mampu diucapkan dalam hati.

"Bran?" Iin melihatku dengan tatapan menuntut.

"Kenapa lo menjauh dari gue selama enam bulan ini?" Itulah kalimat pertama yang mampu dilontarkan.

Arini menundukkan kepala dalam. Tubuhnya mulai bergetar, seperti ingin menangis.

"In?" Aku sekarang diselimuti rasa penasaran.

"Bokap tahu hubungan lo dengan Moza," ungkap Iin membuat keningku berkerut.

"Maksudnya?"

"Beliau pernah lihat lo keluar dari hotel bersama Moza. Kayaknya tahu kalian ngapain aja di sana." Iras wajah Iin berubah miris. "Gue dilarang menemui lo dan nggak boleh deket lagi kayak dulu."

Mata ini terpejam seiringan dengan napas berat yang keluar dari bibir. Ternyata Om Yunus tahu kalau aku sekarang rusak, karena itulah beliau melarang Arini bergaul lagi denganku.

"Selama enam bulan ini gue tersiksa, In. Kita ketemu hampir setiap hari di kampus, tapi nggak bisa dekat lagi."

"Sama, gue juga Bran. Paling nggak lo masih ada Moza yang bisa gantikan posisi gue." Tangis Iin kembali pecah membuatku semakin merasa bersalah.

Kepalaku menggeleng cepat. "Nggak sama, In. Lo itu nggak akan tergantikan oleh siapapun, baik itu Moza sekalipun. Apa yang gue rasakan sama lo dan Moza itu beda jauh."

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang