BRANDON
Mata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.
Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.
Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.
"Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo." Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di telinga.
Anak ingusan? Aku? Sembarangan! Baru kali ini ada cewek yang berani mengatakan aku bukan tipenya dan anak ingusan. Jujur harga diriku sangat terluka, sehingga sulit untuk memaafkannya.
Selama ini cewek-cewek baik saat SMP dan SMA suka mencari perhatianku. Tidak sedikit di antara mereka yang mengejar, bahkan melakukan berbagai cara agar dekat denganku. Salah satunya bisa kalian lihat kemarin, geng Chibie. Mereka berlima adalah siswi populer di sekolah. Tapi si Kutilangdara? Apa dia benar-benar tidak tertarik kepadaku? Atau mencoba bermain tarik ulur?
Seketika desahan pelan keluar di sela bibir saat ingat kebersamaan si Kutilangdara dengan pria yang katanya anak kuliahan kemarin. Entah kenapa aku jadi semakin geram melihat gadis itu tersenyum kepada pacarnya. Kepala terasa mendidih, sebaiknya aku mandi saja setelah itu sarapan agar bisa bertemu dengan Papa sebelum berangkat sekolah.
"Bran, sudah bangun?"
Terdengar suara Mama dari luar kamar setelah mengetuk pintu, sebelum aku melangkah ke kamar mandi.
"Udah, Ma. Ini mau mandi," sahutku dari dalam.
"Mama tunggu sarapan di bawah ya. Jangan sampai telat," teriak Mama lagi.
"Iya."
Aku lantas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mood-ku benar-benar rusak gara-gara si Kutilangdara. Seenaknya saja mengatakanku dekil, kunyuk dan kemarin anak ingusan. Grrrr!!
Lima belas menit kemudian, aku sudah berpakaian rapi. Setelah mencantolkan tas di pundak kanan, kaki ini segera melangkah menuju ruang makan. Ternyata Papa dan Mama sudah menunggu di sana. Senyuman mengambang di parasku sekarang.
"Bagaimana sekolah?" tanya Papa begitu melihatku memasuki ruang makan.
Ah, Papa sekarang menjadi tidak asik karena selalu bertanya tentang sekolah. Padahal kemarin juga menanyakan hal yang sama. Senyuman kembali surut mendengarkannya.
"Kemarin Papa udah tanya, 'kan?" tanggapku malas.
"Papa itu khawatir sama kamu, Bran." Papa berhenti sebentar karena menyeruput kopi. "Kamu itu satu-satunya pewaris The Harun's Group. Bagaimana jadinya kalau kamu sekolah tidak benar? Apa mau Papa kasih perusahaan kepada Gadis?"
Aku lekas menggelengkan kepala. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Perusahaan tidak boleh diberikan kepada orang lain, termasuk sepupuku sendiri.
"Nah, kalau begitu kamu harus belajar yang benar. Pokoknya Papa akan stop belikan apapun yang kamu minta, hingga nilai kamu bagus lagi," ancam Papa menatap serius dengan mata hitam kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Roman pour AdolescentsFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...