BAB 14: Lima Perempuan Berhati Iblis

165 23 21
                                    

BRANDON

Pagi ini tiba-tiba menjadi semangat berangkat ke sekolah. Setelan batik telah melekat di tubuh ini. Segera kuraih tas dan mencantolkannya di bahu kanan. Kaki kemudian melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan.

Seperti biasa, Mama dan Papa sudah menunggu sambil duduk berdekatan di sana. Papa duduk bagian ujung tengah, tempat kepala keluarga. Sementara Mama di samping kanan depan. Aku memilih kursi di seberang Mama.

"Cerah sekali wajah anak Mama pagi ini," puji Mama senyam-senyum.

"Iya dong. Kan mau semangat belajar, biar bisa dibelikan PS3 sama Papa." Aku mengerling ke arah Papa.

"Begitu dong, Bran. Kamu ini laki-laki, harus belajar dengan benar. Apalagi—"

"Kamu pewaris tunggal The Harun's Group," sambungku sebelum Papa menyelesaikan kalimatnya.

Papa tergelak mendengar perkataanku, lantas mengusap lembut kepala ini.

"Tenang, Pa. Aku sudah ketemu sama guru les yang cocok."

"Oya? Kamu kursus di mana?" tanya Papa sambil memotong sandwich.

"Kursus sama temannya, Pa. Anak yang kemarin Mama ceritakan," jawab Mama.

Sepertinya Mama sudah bercerita tentang kunjungan Iin dan rencana belajar bersama.

"Oya? Dia mau bantu kamu belajar?" tanggap Papa menghentikan aktivitas makannya.

"Katanya mau balas budi, karena aku udah bantuin, Pa."

"Kalian pacaran?" Papa menatap curiga.

Aku menggeleng tegas. "Sumpah, Pa. Cuma temen. Just friend, nggak lebih."

"Arini cantik loh, Bran. Yakin ke depannya kalian hanya teman saja?" goda Mama tersenyum usil.

Aduh, Mama apa-apaan sih?

"Enggak-lah, Ma. Orang Arini juga udah punya pacar, anak kuliahan. Dia juga bukan tipeku," kilahku jujur.

"Bagus. Kalau hanya berteman tidak masalah. Bahaya juga kalau kalian pacaran terus sering bertemu di rumah," komentar Papa kembali mengunyah sandwich.

Aku juga melakukan hal yang sama, memakan sandwich yang telah dibuat oleh Mama ini. Biasanya kalau tidak ada kegiatan, beliau yang selalu memasakkan makanan untuk kami sekeluarga.

"Arini besok mulai ke sini, Bran?" Mama kembali bersuara setelah sandwich di piringnya tandas.

"Rencananya begitu. Baru ke sini habis makan siang katanya."

"Kebetulan Papa besok tidak ada kegiatan, jadi bisa bertemu teman kamu. Mau lihat sepintar apa sih." Papa menyeka sisa mayonaise dan saus di pinggir bibir.

"Pintar banget, Pa. Anak juara juga. Main basket juga jago. Main game apalagi," pujiku semangat.

"Oya? Kalian nanti belajar di kamar?"

Aku mengangguk.

"Belajar atau main game?" selidik Papa.

"Belajar dulu, Pa. Kalau capek ya main game habis itu," celetukku sambil nyengir.

Papa hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. Beliau mengarahkan telunjuk kepadaku, lalu menggoyangkannya.

"Papa harus bertemu dengan teman kamu dulu, baru bisa memutuskan apa kalian boleh belajar di kamar atau tidak. Kalau perlu kalian bisa belajar di ruang kerja Papa," papar Papa.

Pasti khawatir kalau aku nanti aneh-aneh di kamar atau malah main game. Entahlah. Tapi niatku memang untuk belajar, bukan yang lain. Demi PS3 yang didambakan. Hehe!

JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang