BRANDON
Satu bulan kemudian
Liburan panjang berakhir sudah. Hari ini adalah hari pertama sekolah. Selama satu bulan belakangan tidak terlalu banyak hal berarti yang terjadi. Hubunganku dengan Inez masih jalan di tempat, tanpa status. Meski begitu, aku lebih sering jalan dengannya.
Bagaimana dengan Iin? Tidak ada perkembangan yang berarti juga antara dia dan Rafly. Pria itu sepertinya tidak suka dengan kehadiranku dalam hubungan mereka.
"In," panggilku ketika dalam perjalanan menuju sekolah.
Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menjemput Iin dan sore mengantarkannya pulang ke rumah.
"Apa?" sahutnya mengeraskan sedikit suara.
"Nggak jadi, entar aja deh."
"Apaan sih lo?! Nggak jelas banget."
Iin mencubit pinggang ini. Meski sakit, namun ditahan demi menjaga keseimbangan sepeda motor. Kebiasaan buruk Arini yang satu ini, sepertinya tidak akan berubah sampai nanti. Aku hanya bisa pasrah menerima cubitannya.
Lima menit kemudian, kami tiba di parkiran sekolah. Setelahnya, aku dan Iin berjalan menuju kelas dua yang ada di lantai tiga.
"Lo nggak ada niat memperjelas status hubungan sama Rafly? Udah satu bulan loh nggak ada kemajuan," tanyaku ketika kami sama-sama menaiki anak tangga.
Dia mengangkat bahu. "Tahu ah. Pusing. Kayaknya nggak ada titik temu."
"Jelasin dulu gih. Kalau memang nggak bisa diselamatkan, mending lo cari yang lain."
"Males."
"Lho kok males?"
"Biarin aja. Gue juga udah males pacaran. Nggak ada manfaatnya. Yang ada bikin pusing," sahut Iin santai tanpa beban.
Benarkah isi hatinya seperti itu? Apa dia tidak memiliki perasaan sedih dengan apa yang terjadi? Atau mungkinkah Iin tidak menaruh rasa kepada Rafly? Ah, aku masih belum bisa meraba isi hatinya.
"Ya udah deh. Terserah kalau gitu. Gue khawatirnya lo terluka nanti, In."
Arini hening tidak menanggapi perkataanku.
"Nanti kita duduk bareng aja ya," ujar Iin seperti mengalihkan percakapan.
"Gue juga baru mau ngomong kayak gitu tadi."
"Sehati dong kita?"
"Kita 'kan selalu sehati," tanggapku menaik-naikkan kedua alis sambil mengusap puncak kepalanya.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, terlalu banyak kesamaan di antara kami berdua. Oleh karena itu, tidak heran banyak yang mengatakan aku dan Iin seperti anak kembar. Apalagi ke mana-mana selalu berdua. Di mana ada aku, di situ ada Iin. Jika salah satu tidak ada, orang-orang akan bertanya kepada satunya lagi.
Akhirnya kami berdua tiba di kelas 2A. Aku mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang cocok untuk ditempati.
"Duduk di sana aja ya?" saranku menunjuk tempat duduk paling belakang.
Tubuh jangkung ini tidak cocok duduk di kursi depan, kasihan yang duduk di belakang.
Arini menggeleng seperti keberatan. "Maunya duduk depanan."
"Gue 'kan tinggi, In."
Iin diam dengan pandangan masih mengitari meja kosong, belum ditempati siswa lain. Kalian tahu pukul berapa kami tiba di sekolah hari ini? Pukul 06.15, sekolah masih sangat sepi di pagi ini. Aku dan Arini sengaja datang lebih awal, agar bisa memilih tempat duduk. Apa kalian berpikir wali kelas nanti akan memindahkan tempat dudukku? Tidak ada yang berani menyuruhku pindah ketika telah menemukan tempat duduk yang diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...