BRANDON
Sungguh luar biasa senang hati ini lulus dari SMA. Nilai juga memuaskan tidak ada lagi C yang pernah singgah sebentar di rapor. Nilai evaluasi murni juga bagus. Papa benar-benar puas dengan apa yang telah kuraih.
Hari ini Papa akan mengajakku ke dealer mobil. Beliau ingin menunaikan janji membeli mobil sport. Tentu saja kami tidak pergi berdua, ada Mama dan Iin yang ikut dengan kami nanti. Setelah dibujuk akhirnya sahabatku itu mau menemani ke dealer, agar bisa memilihkan mobil untukku. Aku juga ingin dia orang pertama yang akan dibawa berkeliling Jakarta dengan kendaraan baru.
Bagaimanapun juga, apa yang telah diraih sekarang, tidak lepas dari campur tangan Arini. Sesuai dengan namanya, Maheswari, dia menjelma menjadi bidadari yang telah menolongku hingga berada di posisi sekarang. Aku beruntung memilikinya sebagai sahabat, 'kan?
"Arini ke sini sendiri atau kita yang jemput, Bran?" tanya Papa sembari memasangkan kancing lengan kemeja.
"Kita aja yang jemput, Pa. Kasihan kalau ke sini dulu."
"Ya sudah, berangkat sekarang agar cepat sampai di dealer. Papa ada meeting jam 10.00 pagi ini," tanggap Papa.
Mama masih tersenyum lebar, karena bahagia dengan kelulusanku. Beliau sangat berterima kasih kepada Iin atas bantuannya dalam akademikku.
"Bagaimana jika Arini dibelikan mobil juga?" cetus Papa ketika kami berada di dalam mobil.
Aku menoleh ke belakang melihat Papa dengan kening berkerut.
"Kalian sudah cukup umur untuk mendapatkan SIM, jadi menurut Papa tidak salah membelikannya mobil," jelas Papa lagi.
"Mama setuju. Brandon saja dibelikan mobil sport, masa Arini tidak diberikan apa-apa," imbuh Mama.
"Bukan gitu, Pa. Iin tipe orang yang nggak mau diberikan barang gratis. Aku traktir aja suka nolak atau besoknya dibalas traktir lagi."
Papa manggut-manggut paham. Mungkin beliau sudah tahu bagaimana karakter sahabatku itu, setelah kenal hampir tiga tahun.
"Kamu punya ide, Bran?"
Aku mengangkat bahu, karena tahu Iin akan menolak segala jenis barang yang akan diberikan.
"Bagaimana kalau kita berikan beasiswa khusus saja nanti untuk Arini, Mas?" usul Mama di luar dugaan.
Beliau tergolong cerdas, sehingga tidak heran bisa mengantarkan Papa ke gerbang kesuksesan meski hanya di balik layar.
"Menurut kamu bagaimana, Bran?"
"Boleh juga tuh, Pa. Kalau diberi beasiswa, Iin pasti nggak akan nolak."
Aku sangat setuju dengan ide Mama. Paling tidak dengan diberikan beasiswa, bisa meringankan beban Om Yunus juga. Apalagi tahun depan giliran Donny yang kuliah.
"Kamu sudah tahu Arini mau daftar di mana, Bran?" Papa masih mengajukan pertanyaan.
"Ambil Manajemen di UI dan UNJ, Pa."
"Kamu bagaimana?"
"Brandon juga pilih jurusan di kampus yang sama dengan Arini dong, Pa. Mana mau pisah dari sahabatnya," sahut Mama tersenyum usil kepadaku.
Apaan sih Mama? Tapi beliau benar sih. Hehe!
"Yakin bisa? Maksud Papa kalau Arini sudah tidak diragukan lagi, tapi kamunya Bran," komentar Papa.
"Entahlah, Pa. Ini aja aku udah deg-degan. Khawatir kalau Iin lulus dan aku nggak."
Papa menepuk pundak ini sambil tertawa. "Kalau tidak lulus, nanti cari saja kampus yang dekat dengan tempat Arini kuliah. Biar kamu ada temannya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND (Trilogi JUST, seri-1)
Teen FictionFollow akun penulis dulu yuk, sebelum dibaca ^^ Sebuah kesalahpahaman membuat Brandon dan Arini saling membenci. Sebuah kejadian lain membuat keduanya menjadi dekat, JUST FRIEND. Sebuah keputusan, kemudian memisahkan mereka, setelah menjalin persaha...