49 - Break The Ice III

761 161 74
                                    

*Galih's Point of View*

Membaca alur kisah teaterikal dibanding menyaksikan langsung tentu membosankan, bukan? Inti tindakanku merebut perhatian dengan meminta kalian mendalami makna perasaanku, tidak lain adalah supaya aku mampu meresapi makna tentang elegi cinta.

Ketika para penari mengisi panggung sebagai pergantian babak enam Pangeran Sakhahati berubah wujud menjadi manusia kembali, tatap mataku tertuju pada wajah familiar mengesankan di deretan bangku hadirin, tengah membawa memori masa lampauku...

...di mana seorang gadis bernama Utari berhasil mengindahkan kenanga pada masa SMP kami kala itu.

Oh, jangan bilang dia akan dijodohkan dengan salah satu kawanan manusia berotak ubur-ubur yang juga berkomplot bersama Dohen?

Tidak mungkin Tuan Hikaru, jelas ia memangsa Mbak Nadia atau Mbak Patty.

Dohen si muka mangkuk bubur sumsum itu juga tidak mungkin, cara mengincar Kak Irene terlalu terang dikelabui.

Lantas siapa?

Lama berpikir, seolah melupakan Jana sedang mengambil bagian dalam misi ini, menepuk pundakku dari belakang.

Nggak. Aku nggak boleh mengingat apapun soal Utari.

Nggak pernah sejarah terukir di kehidupan seorang Galih, bahwa menemukan mantan kekasih hadir, merupakan bentuk sapaan lain dari kangen.

"Gal, waktu kalian 15 menit selama Mbak Patty nyanyi solo plus duet bareng Mbak Nadia di atas panggung. Cepetan pergi ikutin anak-anak sana!"

Sialan, gue ditinggal?? Mau ke mana itu bocah-bocah kupret?!

"Pada ributin apa sih? Bukannya kita tinggal selesein pertunjukan ini tanpa masalah?"

Kuarahkan telunjuk kananku panik, berhubung William, Harsya, Reno, dan Arif sudah berganti pakaian kasual, sementara Galih si wayang tampan masih berkumis palsu.

Dilepas kasar pula oleh Jana!

"Ya Allah, sakit, Yang! Kalo bibirku sampe ikut kecabut beneran, gimana??"

"Nggak usah lebeh lenjeh dulu, Gal! Buruan ganti baju!" Suruh Fauzi seraya melemparkan satu stel pakaian yang entah ia colong dari mana dan milik siapa. "Jan, Sis, Eli, buruan balik badan!"

Kugelengkan kepalaku heran mengetahui Fauzi berteriak menyuruh ketiga gadis kesayanganku, dirinya, dan Reno agar jangan menangkap pemandangan indah tubuhku cuma-cuma.

Halah, takut amat Berlian berbelok menyukaiku.

Eh, tapi nggak apa-apa, kalau Jana merajuk, masih ada cadangan sih.

Astaghfirullah, inget ada Gladis menunggumu di rumah, Gal. Berani jadi cowok brengsek, adikmu dipermainkan sesama brengseknya sepertimu nanti. Idih, amit-amit!

Usai berpamitan sekedarnya kepada ketiga wanita muda menawan itu, kususul Fauzi setengah berlari menuju pintu kamar berwarna merah marun, bertuliskan angka 403.

Hawa rancu tak dapat kuelakkan kala William dan Harsya berdiri gemetaran menatap pintu tersebut.

"Kenapa nggak masuk? Dikunci?" Tanya Fauzi, mencoba menggerakkan kenop sekali yang justru terbuka lebar. "Ayo, masuk. Tunggu apaan lagi?"

"Bang, lu pernah lihat tuh nomer?" Bibir William sungguh pucat berkata. "Ini ruangan tempat gue sama Harsya disekap pas pulang kuliah, Bang, bekas luka gue sampe sekarang bahkan masih kerasa. Itu pisau yang jadi barang bukti, gue lihat di atas meja pojok deket jendela!"

Mampus, merindinglah aku!

"Nggak mungkin! Kalian disekap di gudang, kan? Bukan kamar!" Aku paham saat Reno berusaha realistis, akan tetapi...

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang