17 - High Quality Jomblo II

1.3K 255 282
                                    

"Semua berubah ketika papa di-PHK, berhutang pada rentenir, berujung mama terpaksa menjadi wanita panggilan demi bisa melunasi biaya sekolah Kak Dohen dan saya. Papa menggantikan seorang pimpinan kelompok kriminal human trafficking, pemasok narkotika golongan satu, mengajak Papa Jana ikut serta agar bisnisnya terselamatkan."

"Kak Dohen diam-diam kerjasama bareng papa habis lulus kuliah. Uang haram itu dipakai buat modal usaha kita bersama di bidang fashion, sesuai jurusan kuliah desain komunikasi visual dia dan pendidikan tata busana yang saya ambil, sewaktu kami kuliah di Milan. Itu pun mama yang menyuruh, supaya kami nggak perlu ikut campur dengan situasi di Indonesia. Cukup berbahaya, Rif, karena kakek Galih berhasil meringkus para klien penting papa sebelum beliau meninggal."

"Saya sendiri mulai merasa nggak beres ketika di tahun kedua kuliah, pas Kak Dohen mengajak kami sekeluarga liburan ke Jepang. Ternyata, di sana saya hampir dijual ke mantan germo yang juga bos mama dulu, agar menjadi geisha sekaligus penghibur ranjang bagi para pria milyarder yang mampir ke rumah teh laknat itu."

"Sampai saya berhasil kabur, pulang ke Milan, lalu menyelesaikan kuliah hingga dijemput papa pulang ke Jakarta. Mereka semua nggak meminta saya terlibat lagi dalam pekerjaan hina itu, melainkan membantu Kak Dohen mengembangkan Sofco Witech yang sudah bekerjasama dengan brand-brand ternama, untuk keperluan acara fashion week, display di butik, dan sebagainya."

"Tapi kamu tahu, Rif? Saya nggak pernah sampai hati membiarkan papa dan Kak Dohen seperti itu terus selamanya. Mereka sebenernya baik, hangat, ramah, peduli, sama seperti Mas Leon dan Kak Shafira. Entah kenapa waktu Kak Dohen pengen bales dendam karena nggak bisa menikahi Jana, menuruti kemauan papa, dan melaksanakan hal besar itu, berhubung Kak Shafira menolak mentah-mentah sampai libatin kalian..."

"....saya bener-bener pengen menyudahi segala kegilaan ini, Rif."

Entah bagaimana bermula, Mbak Nadia membawa Arif menelusuri kisah Keluarga Muliardi mengelilingi ruas jalan Jakarta Pusat pukul delapan malam ini. Kafe tempat mereka bertemu yang diinfokan seorang petugas parkir akan segera tutup, membuat Arif buru-buru mengambil laptop yang tertinggal di meja, berpamitan kepada delapan orang yang berencana bakal lanjut nongkrong di kafe lain, lantas mengemudikan mobil milik seseorang yang meminta tolong mereka berakting pertama kali di hari Sabtu nanti.

Rasa Arif mengelabui untuk selalu waspada, tergantikan oleh setitik prihatin menyelubung sederhana. Persis Tante Shafira di awal pertemuan kala itu, meski masih sulit meraba perbedaan antara baik dan buruk.

Apakah Mbak Nadia benar tulus atau sekedar menarik simpati Arif, di sanalah ragu Arif pupus memudar perlahan.

Sama seperti ibu, andai beliau mengalami hal serupa, Arif tentu takkan tinggal diam.

"Maaf kalau saya terlalu jujur, Rif."

"Nggak apa-apa, Mbak, malah bagus Mbak mau cerita." Jawab Arif santai. "Berarti, memang circle pekerjaan Om Bagas, papanya Mbak, sama orang tua Jana emang saling berkaitan, ya?"

"Bener-bener.. sekarang saya ngerti kenapa kamu bisa lulus dan dapet kerja bagus. Otakmu, Fauzi, Galih, Reno, Harsya, dan William nggak bisa disebut main-main."

Hati-hati, Rif, jangan injak rem mendadak kalau ketahuan tersipu. Bisa bonyok anak orang, kan gawat.

"Apa sih, Mbak.. biasa aja saya tuh." Elak Arif malu.

Mbak Nadia tergelak. "Lho? Hahahahah! Ya bener dong? Kalau nggak, ngapain saya minta tolong kalian?"

Karma banget gue udah ngolok-ngolok Galih yang lagi demen parah sama Jana dulu.

Lagian kenapa sih nih cewek? Bisa-bisanya bikin gua deg-degan nggak berhenti!

"Hehehe.. iya sih. Ini kita mau ke mana, ngomong-ngomong? Apa saya perlu anter Mbak pulang sekalian?"

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang