"Ya Allah, ini di mana?"
Berulang kali coba kutelisik sekitar, jelas ruangan lembab berlumut ini bukanlah kamar kosku di Kuta Selatan. Mana aku masih memakai seragam praktek kemaren pula, sebenarnya apa yang terjadi?
Kepalaku sakit sekali. Suhu AC seperti merujuk di bawah angka 15°C, kosong.. tidak ada benda berarti di sekelilingku. Kuusahakan bangun dari posisi tengkurap, mencari di mana jalan keluar dapat kutemukan.
Ya kali, masa' pintu saja tidak ada?!
Ayolah, Harsya, kamu pasti mampu. Yakin, ini cuma hasil tingkah orang mabuk di pinggir jalan yang membawamu kemari.
Sial. Kalau pun ada pintu besi berkarat, ini digembok!
"Astaghfirullah.." kutumpukan dahi di pintu, mulai merasa pusing. "Kuat, Sya, kuat."
"Uuhh.."
Sekilas, ada suara aneh turut menyertai lirihku. Tanganku mulai kaku, kaki ini sulit bergerak. Please, jangan setan. Kalau benar itu setan, semoga nggak seret aku ke neraka!
"Emmhh.."
Dasar sok berani kau, Harsya. Sudah minta kuliah di luar pulau, merepotkan bapak dan ibu dengan meminjam uang Mama William yang berakhir aku dibayari penuh sampai lulus, sekarang terkurung terpenjara di tempat mengerikan begini.
Heran, durhaka kok nggak habis-habis sih, Sya?
Kuatur napasku sedemikian rupa, sambil mengucap doa dalam hati, berharap setan itu berhenti mengaduh.
Kubalikkan badan, betapa terkejutnya kudapati seorang lelaki yang tampak sebaya denganku, berdiri memegangi lengannya yang berdarah dari jarak 20 meter.
Semakin kudekati, semakin kagetlah aku.
"WILLIAM!"
Subhanallah, sahabatku sendiri ada di sini! Segera kupapah ia, kubawa maju ke arah pintu berkarat itu.
"Ngapain lo, Cong?? Lo kudunya di Osie bukan di tempat kumuh kayak gini! Lengan sampe berdarah.. lu maen tembak burung apa gimana??"
"Sshh.. berisik bener dah lu, Cha. Lu juga kenapa di sini? Kita di mana sih?"
"Duuhh.. mana gue tahu, Wil! Semalem gua habis pulang magang, rasanya gua udah tidur kecapekan di kos. Bangun-bangun malah udah ketemu lu aja!"
"G-gue juga nggak paham, Cha. Kayaknya.. gue udah beberapa hari di sini, soalnya nih baju yang terakhir gue pake, pas gua tidur kemaren Selasa.. ssshhh.. aduhh.."
Miris hatiku melihat William terus menerus kesakitan. "Tahan, Wil, gue coba cari pertolongan dulu."
Kusobek lengan panjang seragamku, kuikatkan pada bagian tubuh William yang terluka agar darahnya tidak terus mengalir keluar. Nah, harus bagaimana aku sekarang?
Menggedor atau mendobrak pintu? Boleh saja. Bang Galih sempat mengajariku gerakan dasar karate, siapa tahu bisa.
"Ti ati, Cha." Bisik William begitu aku melompat-lompat, sebelum berlari kecil dan melebarkan kaki depan...
...lalu terpeleset karena pintu keburu ditarik dari luar, mengenai telapak kakiku, membuatku tersungkur menungging mencium alas semen.
Ngakak pula si William. Astaga, teganya.
"Eh, ya ampun! Harsya, kamu nggak apa-apa??"
Suara sebening embun di pagi musim bunga sakura seolah membawaku flashback ke masa remaja penuh cerita kasih tak sampai.
Rambut panjang lurus kecokelatan tergerai ke samping, tangan kanan menjulur membantuku terbangun, senyum kecil membingkai indah, tanpa sadar mulutku menganga dan berkata..
"Buseeett.. mimpi apa Acha semalem ditolongin bidadari Nawang Wulan, Bu?"
Namun, dia justru menoleh ke belakang di mana ada seorang pria berpenampilan rapi menggendong William keluar dari gudang sumpek ini.
"Minta Dian rawat luka William di rumah, biar Harsya jadi urusan saya."
"Baik, Nona."
Bingung bagiku dan William menemukan kedua orang ini mengenali kami. Tenang sekali dia bicara, padahal rona wajah William terlampau pucat, aku pun didera ketakutan karena kusangka kami merupakan korban penculikan.
Seseorang kembali datang. Alis tebal tertaut serius, membawa sekotak P3K beserta dua botol air mineral, diberikannya padaku dan William.
GUE KESASAR DI DUNIA PARALEL MANA SIH INI, HAH?
"Harsya," si mbak cantik memetikkan jemari di depan mataku. "Jangan bengong, minum dulu. Pasti kamu haus banget udah disekap kakakku dua hari, kan?"
Kakak?
Kakak siapa? Yang mana? Aku siapa? Apakah aku Vidi Aldiano?
Seakan mampu membaca jalan pikiranku dan William yang saling bertukar tatap bingung, si mbak menjawab...
"Kakak saya, Dohen Muliardi."
Waduh?? Buru-buru William melepas pegangannya dari orang suruhan si mbak, tetapi penolakan malah ia terima. Begitu juga denganku, kulirik botol air bersegel di tangan. Ngeri beracun tikus.
"Kalian nggak usah takut, justru saya mau selamatkan kalian dari ulah kakak saya. Sekarang, kita obati luka tembak William dulu, kalau sudah.. kita harus cepet ke bandara. Kalian sudah kami pesankan pesawat ke Jakarta, supaya kalian bisa cepet ketemu Arif, Galih, Fauzi, dan Reno juga."
"Kita nggak bisa nunggu lama lagi, Sya, Wil."
Si mbak cantik menarik tanganku, mengajakku melangkah selama beberapa menit ke sebuah rumah yang kuduga adalah kediamannya.
Mengapa aku dan William tak sanggup berkata-kata? Selain rasa perih yang tak terelakan, ada satu pertanyaan menyangkut pelik dan harus kudapatkan jawabannya.
"Mbak," tegurku halus sesampai kami di sebuah teras, menghadap langsung ke arah indahnya suasana pantai. "Ini udah lima tahun sejak Kak Jana nggak jadi nikah sama Om Dohen. Kenapa Om Dohen masih mau celakain saya sama William?"
"Betul, Mbak." Sahut William sembari berusaha untuk tidak menangis saat ditotol kapas beralkohol. "Saya sama Harsya cuma mau hidup tenang, kakak-kakak kelas kita juga. Kita berdua masih kuliah, abang-abang udah kerja, kenapa masih pengen cariin kita sih? Buat apaan?"
Tanganku digenggam, sepasang matanya mengedip lucu.
Alamak.. ingat, Sya, ada Tante Shafira tunggu dilamar sama kamu!
"Saya bakal berterima kasih banget sama kalian kalau kalian bersedia membantu saya."
William? Tentu saja membalas senyuman si Mbak... nah lho, siapa namanya?
"Kalian boleh panggil saya Mbak Nadia, Sya, Wil. Tapi jangan 'tante', ya.. kan itu panggilan khusus Harsya buat Kak Shafira."
"CIIIEEE!! DIRESTUI ADEK MUSUH BEBUYUTAN NOH, CHA! Sikat udeeehhh!!"
Sikat, sikat... mulutmu, Wil.. mau kusikat WC, memangnya?
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfic(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...