16 - High Quality Jomblo I

1.3K 273 162
                                    

Giyanti Coffee Menteng pukul setengah tujuh malam ini merupakan lokasi di mana Reno dan Sissy berdiskusi penting demi keutuhan hubungan mereka. Jika keduanya memilih berpisah meja, maka Arif, William, dan Harsya duduk bertiga menikmati pesanan favorit.

Layar laptop Arif menampilkan data laporan yang belum selesai dikerjakan, berhubung keburu dijemput paksa Reno kemari. Untung diizinkan atasan yang juga salah satu kolega Papa Reno, meski harus segera dituntaskan.

Fauzi dan Berlian masih dalam perjalanan. Galih beserta Jana entah berada di meja sebelah mana, yang jelas ingin mengedepankan privasi.

"Ngenes amat pacaran sama komputer lipet dari tadi, Bang." Harsya membuka suara, greget melihat Arif terus konsentrasi bekerja di waktu santai.

Telunjuk dan jempol kanan William memetik kencang.

"Nah! Yang gua tangkep, Bang Arif tuh santai banget soal jodoh. Emang nggak pengen cari pacar gitu? Atau perlu gua sama Acha cariin buat lu?"

"Kasih tahu kita aja lu mau punya cewek kayak gimana, Bang Arif, serahin sama kita! Mumpung nganggur belom masuk kuliah nih."

Jengah Arif melirik William dan Harsya yang memperhatikannya intens. Sehela napas Arif mengajak bermain sebentar ke alam bawah sadar, setuju akan kata mereka.

"Emang ngenesnya muka gue kayak apa sih?"

"Persis printer kehabisan tinta." - Harsya.

"Nggak jauh beda sama kerak panci. Bandel, susah dibersihin." - William.

Arif mengusap wajah pelan, meletakkan kacamata yang sempat bertengger di pangkal hidung ke atas meja, melanjutkan mengunyah sisa sepotong club sandwich.

"Jodoh gampang, bisa sambil jalan."

"KAN! KETULARAN KO RENO, KAN!" Seru William. "Bang, please deh. Mentang-mentang lo lulusan SMK teknik yang minim anak cewek, emang nggak pengen punya temen hidup?"

"Pengen, Wil, tapi nggak sekarang. Mau dikasih makan apa anak orang kalo gua baru rintis karier? Makan aja masih dibekelin ibu, sok mau traktir cewek. Kredit rumah sama mobil belom lunas, ibu belom gua naikin haji. Target serius kalo gua 28 atau 30 deh, baru berani gerak."

Wow. Mulut Harsya menganga lebar.

"Mantep, Bang Arif!! Gua aja nggak mikir sampe ke sono!"

"Yahh.. isi kepala lu Tante Shafira semua, gimana bisa mikir?" Halus Arif menggumam, William tertawa usai menelan sesuap terakhir cheese croissant.

"PUAHAHAHAH! Emang, Bang! Sok maju mundur dia ngitung kapan bisa lamar si tante coba! Gokil lu, Cha. Abang-Abang sama Ko Reno aja mulai nyerah, elu masih setia aja ngisi V-Power saking eksklusif tuh mantan atasan cakep."

"Sialan.. tenaga gua disamain jenis bensin.." gerutu Harsya diiringi kikik geli Arif. "Namanya cinta tuh kudu dikejar, menang kalah bodo amat, yang penting usaha. Kece kan, Bang?"

Yang ditanya mengangguk seraya menaikkan alis kanan. Terserah Harsya, toh Arif paham bahwa Tante Shafira sedang melanjutkan kuliah S2 sehabis direhabilitasi. Siapa tahu bakal bertemu jodoh di tempat baru?

Arif sih sudah tahu. Ia terlanjur kalah sebelum berperang, meski tetap bersyukur karena sempat mengagumi paras elok wanita muda mandiri tersebut.

Alunan musik soft jazz mengisi ruang pendengaran, mengantar Fauzi dan Berlian mendekati mereka bertiga. Terlihat fisik letih namun dipaksa segar, membuat Arif menyambut keduanya hangat.

"Ngapain ke sini? Kalian nggak istirahat aja di rumah?"

"Tanggung, Rif, habis ini kita emang langsung pulang. Nyetor baju kotor, mandi sebentar, ganti baju, balik ke rumah sakit lagi."

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang