3 - Galih

1.7K 350 72
                                    

Sambil menunggu Fauzi selesai bertugas melayani rombongan anak-anak TK dalam pemeriksaan gigi, kuhabiskan mangkuk ketiga soto kudus di kantin rumah sakit, ditemani Reno dan Arif yang terus memandangku geleuh.

"Apaan sih lo berdua? Norak bener kayak baru lihat orang makan banyak."

"Lu laper apa kesurupan?" Arif geleng-geleng. "Tadi pas nunggu Reno.. lu udah habis batagor sepiring, es cendol segelas, sekarang soto tiga mangkok. Lu tuh sebenernya manusia atau buto ijo?"

"Udah, biarin. Kasihan ntar anak mami kurus." Sela Reno, terang malas sekali mengomentariku. "Si Oji kapan selesai? Udah mau lewat jam makan nih."

"Nasib jadi calon dokter, Ren, buat dirinya sendiri aja nggak ada waktu pribadi buat makan." Arif menjawab prihatin. "Emang lu mau ngomong apa sih? Kayak sengaja banget nunggu kita ngumpul berempat."

"Penting pokoknya, Rif. Lu beneran nggak sibuk, kan?"

"Kerjaan bisa gue lemburin sampe rumah. Toh bos malah nyuruh gue nggak usah ngantor, soalnya CPU divisi gue lagi digantiin sama model baru."

"Elu, Gal? Nggak dicariin juga, kan?"

Kukibaskan tanganku santai. "Kalem, Ren. Harusnya malah gua hari ini dapet libur, kompensasi reward pencapaian kenaikan produksi. Tapi emang dasar badan gatel aja, nggak ngantor malah pegel-pegel."

"Bagus, tinggal tunggu Bang Oji." Tepukan tangan Reno di atas meja terdengar tegas. "Sayang, duo kacrut lagi di Bali sama Melbourne."

Ah, dia benar. Lama tak bersua diriku dengan William dan Harsya. Mereka biasa meramaikan suasana, tapi sudah beberapa tahun ini terasa sepi.

Well, life goes on. Kita pun tak bisa memaksakan kehendak mereka untuk tetap bersatu bersama kami, bukan? Reno saja tak dapat kami temui selama tiga tahun, rela menunggu ia lulus kemudian menjadi generasi penerus perusahaan keluarga.

Eh, aku belum bilang pada kalian, ya? Mami hamil anak kedua.

Semoga perempuan deh, supaya dasterku waktu SD yang dijahitkan mami bisa dipakai. Dibuang, sayang.

"Maaf, maaf. Kalian udah nunggu lama, ya?"

Si dokter gigi muda datang menyapa, melepas snelli, menggantungkan di punggung kursi kantin.

"Pesen makan dulu, Ji. Awas sakit." Suruh Arif.

"Oke, Rif. Tunggu, ya."

Napas kami bertiga terhembus lega, setidaknya Fauzi masih mau memperhatikan diri sendiri.

"Jadi, ada apa nih si Chandra pake ngajak kita janjian ketemu?" Fauzi bertanya senang sambil meletakkan piring nasi ramesnya. Bersiap untuk makan.

Saling lirik terjadi beberapa detik.

"Kenapa, Ren?" Tanya Arif setengah curiga. Aku jadi ikut parno.

"Tadi pas gua lagi beli cemilan di minimarket kantor, gue dibayarin Mas Ghanin. Si Mas Ghanin ini orang kepercayaan Nadia Muliardi." Reno mulai bercerita.

Fauzi berhenti mengunyah nasi. Tubuh Arif seolah membeku. Bibirku membulat besar.

"Kayak kenal sama tuh marga setan burik."

Sialan! Fauzi malah menyemburkan es jeruk di mulutnya ke pipiku!

"JI! SANTE, DONG! HABIS KENA CIUM JANA SEMALEM NIH! MALAH LU SIRAM SECARA TIDAK HORMAT!"

"LAGIAN ELO!! Setan burik?? Buset dah, Gal... segitu dendamnya lo sama Dohen? Wakakakak!"

Arif langsung menyambar. "Ren, lo tadi bilang siapa? Nadia Muliardi? Sumpah! Kalian harus tahu! Seminggu lalu, gue dapet kartu nama dari tuh cewek di busway pas lagi jalan mau pulang ke rumah!"

"Si Nadia itu maksud lo?" Fauzi memastikan. Arif manggut-manggut yakin. "Ada hubungan apa antara kita sama klan Muliardi, sehabis hampir lima tahun kita hidup tenang? Apa ada kasus yang belom selesai?"

"Wah, gila sih kalo itu beneran. Gua nggak sanggup, kayaknya.. kerjaan udah macem tanah jahanam, tambah lagi kudu urus gituan.." pusing kepalaku tiba-tiba.

Kukira semula sikapku berlebihan, tapi Reno justru setuju.

"Lo bener, Gal. Gua juga kaget pas tahu Arif didatengin orang aslinya. Tapi nggak sekarang juga, ya, tolong... gue lagi puyeng banget soal Sissy. Pengen ngehindar, tahu nggak?"

Aku paham betapa papa dan mama Reno tidak menghendaki hadir Sissy di keluarga mereka.

Terkesan tidak adil, namun memang inilah sisi gelap hubungan bisnis keluarga konglomerat kelas kakap di Shanghai macam Om Chandra.

"Sabar, Ren." Kuremat punggung lelaki itu. "Terus.. lo ketemu Nadia beneran, atau cuma sama Mas Ghanin aja?"

"Mas Ghanin doang, Gal. Menurut kalian, kalo boleh sok tahu, ada apaan sebenernya?"

Sebuah sendok ditarikan Fauzi ke udara. "Kalo menurut analisis sotoy gue, Tante Shafira udah cerita tentang siapa kita ke Nadia, pas tahu kakaknya berhasil kita penjarain karena udah berani mau nikahin ceweknya Galih, dan bakal dijadiin fortune buat bisnis geblek dia."

"Terus, si Nadia ini bisa jadi minta tolong kita buat bebasin Dohen, gitu maksud lo?" Sangka Reno.

"I guess not," tukas Arif. "Inget, waktu Tante Shafira nawarin kita kerja di katering, dia penuhi kebutuhan kita sekaligus minta tolong kita juga buat bantuin dia di suatu misi ngaco yang bikin kita hampir mati."

"Melek deh lo pada. Apa namanya kalo Nadia juga mau coba bantu kita, tapi juga mau kita buat bantuin dia?"

Cerdasnya sahabatku ini. "Emang lo berdua ada keperluan apa sampe si Nadia tahu dan mau coba bantu kalian?"

"Selera konsumen produk perusahaan gue mulai menurun, Gal." - Arif.

"Lo tahu lah.. bonyok masih pengen jodohin gue sama yang lain." - Reno.

"Hmm.. kalo gue apa, ya.." Fauzi tampak berpikir, mencari-cari jawaban masuk akal. "Oh, iya! Ada masalah internal antara pihak rumah sakit sama kampus. Konon, dokter-dokter muda model gue sama Eli, bakal ditugasin ke pedalaman Kalimantan setahun ke depan. Dan itu ilegal, tanpa persetujuan dekan."

"Sinting!" Umpat Reno.

Kami berempat terdiam. Mungkin, cuma aku satu-satunya yang belum terlalu memahami tujuan adik Dohen dalam menemui Arif dan Reno...

...sampai ketika ponselku di samping mangkuk kosong bergetar, menandakan sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

+628130070457
Halo Galih
Jangan lupa simpen nomer HP saya
Kalau kamu dan Jana ingin baik2 saja
-NM-

Hah, NM? Siapa? Nikita Mirzani? Nella Kharisma?

Galih
Maaf
Ini dengan siapa?

Mas/Mbak NM
Nggak usah pura2 nggak tahu galih
Kan saya udah diomongin dari tadi
Temen2 kamu aja tahu
Masa' kamu lupa?

Astaghfirullahal adzim, nama belakang Muliardi. Tapi kelakuan nggak ada mulianya babar blas, ngageti wong wae.

Eh, ntar dulu. TAHU DARI MANA SI NM INI KALAU KITA BEREMPAT LAGI GHIBAHIN DIA??


***BERSAMBUNG***

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang