4 - Fauzi

1.5K 323 38
                                    

Visite pagi ini terasa biasa saja, mengingat Fauzi dan Berlian tidak dalam satu jadwal yang sama selama sebulan. Tentu, gadis itu masih merupakan alasan Fauzi untuk mengabdikan diri sebagai pelayan kesehatan masyarakat.

"Mas Fauzi," seorang perawat wanita menegur dari belakang. "Mas Fauzi dicariin sama Dokter Artha."

Mengangguk, lelaki itu tersenyum menyapa salah satu dokter dari poli bedah mulut, yang kini tengah menghampirinya.

"Kusut bener, Zi, udah mandi?"

"Baru bangun tadi jam enam, Dok, jadi cuma sempet cuci muka aja. Ada apa, ya?"

"Nggak apa-apa. Nggak usah tegang banget gitu. Saya nggak dateng buat ngasih soal kasus ujian kok, hehee.." Terkekeh Dokter Artha menepuk-nepuk bahu Fauzi. "Ada tamu di ruangan saya, dia mau ketemu sama kamu. Penting, katanya."

"Siapa, Dok?"

"Temen SMA anak saya. Kamu udah selesai visite, kan? Pasien rawat inap di bangsal Pandawa sisa lima orang aja, ya?"

"Iya, Dok. Kalau begitu, saya temui temen Dokter dulu. Permisi."

Meski gue nggak tahu dia cuma mau sekedar konsultasi atau nanya gue udah punya pacar atau belom.

"Eh, Zi." Yang dipanggil menoleh ke belakang. "Jangan lupa nanti jam satu siang ada seminar."

Gurat lelah menghiasi wajah, namun acungan jempol tanda setuju tetap semangat ditujukan.

Total dua hari Fauzi tidak pulang ke rumah. Terlelap hanya dua hingga tiga jam tanpa kasur empuk, bantal, guling, dan selimut favorit, namun tekad bulat mematahkan rasa manja sangatlah luas.

Itulah Fauzi Birawan, dokter gigi muda yang terkenal pantang menyerah.

"Selamat pagi," ketuk pintu dua kali dilakukan. "Ada yang bisa saya bantu?"

Seorang tamu Dokter Artha berdiri menyambut kedatangan Fauzi di sebuah ruangan praktik bernuansa hijau mint.

"Kamu Fauzi?"

"Betul, Mas ini..."

"Adrian," tamu itu menjabat tangan Fauzi. "Kamu bisa panggil saya Kak atau Mas Dian."

"Hmm.. oke, Mas Dian, saya Fauzi. Ada perlu apa ingin bertemu saya, Mas? Mau periksa gigi berlubang, mungkin?"

Tertawalah oknum bernama panggilan Dian tersebut. Cara Fauzi mengajaknya bicara cukup kasual, menyenangkan hati. Sementara Fauzi sibuk berpikir, perasaan tak ada sedikit pun lelucon tersemat dari kata-katanya.

Selera humor orang berbeda, maklum saja.

"Bukan, bukan.. niat saya ke sini nggak ada hubungannya dengan profesi kamu. Ngomong-ngomong, saya cuma dikasih waktu sebentar banget sama Dokter Artha, jadi saya nggak akan banyak cerita nggak penting."

"Saya ditugaskan oleh Nona Nadia Muliardi, untuk bertemu kamu dan memintamu secara langsung buat dateng ke tempat Kak Shafira dan Bang Leon direhabilitasi lima tahun lalu. Sabtu, jam sepuluh pagi."

Detak jantung Fauzi melambat. Seluruh sistem kerja otak kirinya mendadak tersendat. Ia bahkan melupakan rasa lapar dan kantuk luar biasa parah demi memastikan ada mandat tersirat.

"Mas Dian ini orang suruhan Nadia Muliardi?" Pria berkemeja batik lengan panjang itu mengangguk yakin. "Maaf, saya sudah mendengar tentang nama yang dimaksud Mas dari beberapa temen saya, tapi apa maksudnya? Kenapa saya diminta dateng ke sana? Apa Tante Shafira masih dirawat?"

Jangan-jangan bener.. si Dohen serundeng itu belom kapok? Oh my Lord.

"Kamu akan tahu jawabannya nanti, Zi. Yang jelas, kamu nggak akan pergi ke sana sendiri. Reno, Arif, sama Galih nggak bakal tinggal diam, kalian bakal bekerjasama, kami tahu itu."

BUSET! Selain dia ada siapa lagi, woy?? "Mas, maaf, tapi saya bener-bener nggak tahu bisa atau nggak. Soalnya..."

Dua amplop surat dikeluarkan Dian dari dalam saku jas, diletakkan di atas meja.

"Kalau kamu khawatir soal koas, kampus dan rumah sakit udah setuju atas perizinan yang saya ajukan untukmu. Nggak usah takut, kamu bakal tetep bisa selesein kewajiban dua tahun, dengan syarat ada dua hari tertentu di mana kamu akan sangat kami butuhkan."

"Gimana? Saya tinggal tunggu afirmasimu, supaya bisa secepatnya saya proses."

Tak ingin membuat pembicaraan ini semakin melantur, hela napas Fauzi mengundang.

"Tolong.. saya bakal lakuin apapun, tapi kalau boleh saya memohon.. jangan sakiti orang tua dan calon istri saya." Cetus Fauzi.

"Mereka aman, percaya sama kami."

"Siapa 'kami' yang Mas maksud?"

"Itu juga bakal kamu tahu nanti. Oh ya, satu lagi, Nona Nadia memiliki sifat 180 derajat dengan Tuan Dohen. Ketakutanmu dan temen-temenmu sama sekali nggak berdasar, malah sebaliknya.. Nona Nadia ingin kamu dan Berlian segera menuntaskan pendidikan dokter sehingga kalian bisa menikah, Fauzi."

Bergidik mendengar tutur dingin menusuk berbalur perhatian tanpa cela, seolah meyakinkan Fauzi bahwa Dian bukan golongan orang yang sama seperti Bagas.

Sebelum pergi, Dian terlebih dahulu menebar senyum, menepuk bahu Fauzi ringan sembari berkata...

"Jangan sampai gegabah, atau Berlian berhargamu berada di tangan yang salah ketika mendapat tugas jaga malam ini di UGD."

Di sinilah getar tubuh Fauzi tak terhindarkan, memandang Dian berlalu pergi, melemaskan massa ototnya.

Ya Allah, seberapa baik diri ini di mata mereka yang menginginkan pertolongan hamba, bila kembali nyawa ini dipertaruhkan oleh hal serupa?

Tak mengindahkan panggilan rekan sejawat di selasar rumah sakit sepeninggal pertemuan tadi, tangan Fauzi cekatan mengambil ponsel dari saku celana training, mencari kontak sang pujaan hati agar dapat dihubungi.

"Pagi, Zi. Tumben kamu telepon jam segini."

"Eli, tolong kamu dengerin aku kali ini aja. Jangan berangkat jaga nanti malem sebelum aku jemput. Thanks, dear. Love you."

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***BERSAMBUNG***

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang