"Gue bukan kayak dulu lagi, Rif, gue udah janji sama diri sendiri buat nggak nyusahin papa sama mama, fokus ke tujuan hidup, bahagia sama Berlian. Kita berenam emang masih temenan, tapi bukan berarti gue bebas bilang iya."
Sebelum ke rumah sakit, Arif terlebih dahulu menelepon ibu. Kemungkinan besar akan pulang terlambat, atau malah menginap di rumah Hamzah yang dekat dari tempatnya berada sekarang. Cara Fauzi bicara usai melepas handscoon dan masker sedikit menyentak kesadaran Arif.
Tentang kondisi bahwa mereka semua telah beranjak dewasa tak dapat dipungkiri.
Arif menolak datang bergabung tanpa mengabari Galih atau siapa pun itu. Mengulik jam sibuk Fauzi menjelang semester tujuh dan skripsi, rasanya wajar jika ia melewati janji. Meski begitu, keduanya tetap saling berkomunikasi.
"Semalem gue pikir, yang cocok buat hal ini cuma Galih sama Reno. Lo lihat, kan? Kita ketemuan jam 8 tapi gue baru bisa samperin lu jam 10. Kerjaan lu lebih penting buat terusin hidup, William sama Harsya punya tanggungan harapan keluarga. Tuh anak dua masih muda banget, Rif. Okelah kita solid, kompak, pinter? Ya nggak bego-bego amat deh, paling nggak. Tapi buat yang kedua kali? Can't."
Sekaleng kopi dingin diberikan Fauzi kepada Arif sebagai teman duduk di koridor rumah sakit. Dingin, hampa, kemelut kelabu melingkupi perasaan.
"Zi, apa nggak sebaiknya kita ikuti mau Mas Ghanin?"
Tawa hambar Fauzi menguar. "Terus, kita beneran bantuin dia.. masukkin Dohen ke penjara, bebas lagi, bikin onar di tempat lain, gitu terus sampe dinosaurus makan lemper."
"Terakhir kali, Zi, apa lu nggak bisa?"
"Kok lo ngotot sih, Rif?" Tangan kanan Fauzi meremas kaleng kopinya gemas. "Lu mau ketemu Nadia? Turutin omongan Mas Ghanin? Ya udah sono, susulin anak-anak! Tapi nggak usah ngajak gue!"
"Bukan maksud gue ngotot, Ji. Lu amnesia kalo lu calon dokter? Lupa sama isi sumpah yang bakal lu bacain pas lulus sebelum dapet ijin praktek? Gue emang nggak se-pinter elu sama Reno, tapi masa' lo nggak ada rasa kemanusiaan sama sekali? Gue akui, tadinya gue emang nggak mau ikut campur lagi soal ginian. Cuma, gue inget gimana bapak dukung gue setengah mati biar gue bisa diterima sekolah teknik." Kata Arif tak habis pikir.
Semula, Fauzi memang capek. Sekali menerima jatah istirahat selepas delapan jam kerja, Arif memaksanya menggunakan akal sehat.
"Emang bokap bilang apa ke elu, Rif?"
"Sederhana. Bapak pengen gue bisa bantu mobil sama motor orang-orang yang mogok, bannya kempes, sama kehabisan bensin di tengah jalan." Kenang Arif. "Bapak sama ibu gue orangnya lucu. Pendidikan mereka cuma sampe SMA, ngomong selalu polos apa adanya, nggak tahu kenapa.. ending up-nya selalu bikin gue sadar tentang apa yang kudu gue lakuin."
Fauzi mengerti. Kesederhanaan keluarga Arif tak jarang menuntutnya bersyukur setiap waktu. Saat mendengar kalimat barusan pun, tubuh Fauzi serasa disiram seember air es.
Membantu dan menolong sesama memang agenda wajib dalam hidup manusia. Menyaksikan sendiri bagaimana mama mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak panti asuhan yang didonasikan oleh yayasan keluarga, merupakan salah satu pemecut Fauzi untuk bercita-cita menjadi dokter. Kala Dokter Artha memintanya bertugas memeriksa kesehatan gigi anak-anak di sekolah luar biasa, senyum Fauzi sendiri tak pernah hilang.
"Bokap lo bener," sahut Fauzi tenang. "Masa' ada bocah lagi sakit gigi, orang tua mereka nggak ada duit, BPJS nggak punya atau belom kebayar, gue bakal diem aja. Gila apa."
"Sekarang lo ngerti, kan? Gue kerja juga bukan semata buat uang doang, aktualisasi diri? Cehh.. temenan sama kalian bikin gue kurang sabar kayak apalagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfic(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...