Shalat subuh sendiri dilakukan Arif dalam kamar tamu rumah Adrian, terpaksa karena ia terlalu lelah membangunkan teman-teman lain.
Selepas Reno menarik paksa selimutnya, William, dan Harsya demi menghabiskan setengah teko susu cokelat panas pukul setengah empat pagi, sikap bodo amat dilancarkan dalam tajuk mimpi serta dengkuran halus mereka. Enggan diganggu.
Tentu Arif tidak mau mati penasaran, meski beribu rasa heran menggerayangi kala Reno antusias menceritakan sekilas bayangan lewat di luar jendela dapur.
Fauzi merinding disko. Galih baru bisa tidur sehabis adzan. William sampai mengecek keluar namun tidak menemukan apa-apa. Harsya tidak peduli, malah melanjutkan tidur di kursi makan.
Hah.. percuma Arif mencoba berpikir. Mengingat beban kerja, misi mendapatkan cairan formula penetralisir sistem pemrograman memori berupa penampilan teater plus penyelamatan sahabat Irene, sudah cukup membuat Arif rindu akan suasana kamarnya sendiri.
Belum lagi jika ibu membahas pernikahan, rasa Arif ingin bapak dan Angkasa hidup kembali, demi mencegah impian semu beliau.
Usai melipat dan meletakkan sajadah pinjaman ke tempat semula, lelaki itu mengambil selembar handuk dari dalam ransel.
Ia lalu melenggang menuju kamar mandi, berpapasan dengan Nadia yang sudah mengenakan sun dress oranye, dilapisi oleh blazer hitam, plus lingkar butiran mutiara menghiasi leher indahnya. Tampak siap hendak pergi ke suatu tempat.
Hmm.. Tante Shafira memang cantik. Nadia pun tak kalah menawan.
Nah, bingung kan kamu, Rif? Sama. Harsya yang terbangun dan ikut mengintip sedikit di belakangmu saja terhenyak.
"Astaghfirullah, ibadah bolong-bolong aja segini gede berkahnya. Apalagi kalo rencana berhasil ntar? Mimpi lagi di khayangan kali gue.." bisiknya asal.
"Rapi bener, Mbak. Mau ngantor?" sapa Arif. Awas, Rif, bahaya kalau jantung turun ke mata kaki.
"Iya nih, lagi sibuk parah. Nggak ada Kak Dohen, jadi saya yang handle semua. Kok udah bangun aja, Rif?"
"Mau mandi sih, Mbak, sekalian latihan dialog juga habis ini. Mbak udah sarapan?"
Nadia mengangguk, menyampirkan rambut hitam panjang beraroma stroberi sintetis ke belakang, sedikit menyamarkan kesadaran Arif.
"Udah kok, tuh lagi disiapin sama Mas Ghanin di dapur. Habis mandi, ikut sarapan bareng yuk, Rif. Ajak lainnya juga, oke?"
Berlalunya si gadis tidak menyurutkan senyum manis Arif, malah mengangguk menurut, tapi justru menyulut kecemasan Harsya. Masa' target taksir jadi CLBK bareng mantan pasangan? Kasihan Arif. Jelas Harsya tidak tega.
Begitu si kakak kelas pertama membuka kenop pintu kamar mandi, Harsya segera menahan bahu tegap itu.
"Kenapa, Cha? Mau mandi duluan?"
"Bang, lo serius pengen dapetin Mbak Nadia? Lu nggak cemburu gitu dari kemaren dia deketin Mas Ghanin? Berasa tuh ciuman pipi lu kagak ada artinya buat dia, anjir!"
Wajar Harsya gemas. Kesannya dua orang ini lebih dingin disbanding Jana dan Galih.
"Lho, hubungannya apa antara gue udah berani cium pipi Mbak Nadia sama Mas Ghanin? Namanya masa lalu itu cuma kenangan sesaat, Cha. Bagus kali tuh orang masak, tandanya dia perhatian sama calon menantu ibu gue. Paham?"
Tidak salah pengamatan Harsya ketika takdir mempertemukannya menghadapi sosok Arif pertama kali, di ruangan pribadi Tante Shafira. Sosok Arif memang sudah mendewasa sejak awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Hayran Kurgu(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...