Kepercayaan Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kepada seluruh pihak terkait misi setengah tak dimengerti ini tak luput dari peran Adrian, selaku pelatih mereka.
Selesai menghabiskan dua putaran, mereka diharuskan naik mobil bak terbuka hitam bermesin diesel milik Leon, dikendarai oleh Adrian.
Galih dan Arif tidak banyak bicara menumpukan kaki di atas ban, meloncat masuk seraya mengelap sekujur wajah dengan handuk. Fauzi beserta Harsya mengikuti cara kedua sahabatnya, menyusul duduk di samping sambil melihat-lihat sekitar.
Deru mesin menyala, namun William bersama Reno urung bergabung, saling menatap bingung nan heran.
"Kita mau dibawa ke mana sih, Ko?"
"Mana gua tahu, Wil. Gih buruan naik, gue nyusul."
"Lah, lu belom pernah naik mobil pick up, Ko?"
"Kayak lu beneran pernah aja. Udahlah, kita sama-sama norak ini." Reno mengangkat bahu cuek, mencoba menduplikasi cara Galih, namun tetap tak bisa dilakukan. "Alaaah.. Kak Dian! Susah! Gua naik mobil Galih aja, gimana?"
Adrian melongok dari balik jendela kemudi. "Kagak ada acara misah dari rombongan! Kenapa sih emang? Nggak tahu cara naik?"
Reno dan William mengangguk kesal, menjadikan Fauzi terpaksa turun tangan.
"Sini gua bantuin."
Jangan mengira Fauzi akan mengulurkan tangan dan membantu mereka agar tidak terjatuh. Sisa dua orang yang masih menapaki tanah, Fauzi gendong satu per satu untuk dinaikkan supaya efisien waktu.
Mulut kedua bocah tajir itu baru terbuka sedikit, telapak tangan Fauzi terentang ke depan. "Sama-sama, Wil, Ren."
"Thanks, Ji."
"Makasih, Bang Oji!"
Cengar-cengir bahagia, mereka bertujuh berangkat melaju ke tempat latihan utama, diikuti Reyhan dari belakang. Berhubung perjalanan dirasa masih panjang, obrolan dilancarkan sembari menikmati penyegar napas gratis, berbagi minuman ringan, termasuk kesukaan Arif yang mengarungi lamun di tengah padat polusi karbon monoksida.
Termangu Arif menikmati sepoi angin, ketika Harsya, Fauzi, dan Galih menari-narikan tangan riang gembira, sementara Reno berusaha menahan mual akibat mabuk darat. Berpikir bagaimana jika suatu hari nanti ia terpaksa menumpang mobil molen alias truk pengolah semen?
"Mikir apaan, Bang? Serius amat." William menepuk lengan Arif di depannya.
"Nggak ada apa-apa, Wil. Lengan lo udah baik?" Tanya Arif mengalihkan atensi.
"Ooh.. udah kering sih, cuma masih ngilu dikit tiap dibawa tidur aja." William menunjukkan kain kasa tipis pembalut luka tusuk berbahaya itu. "BTW, lo tahu nggak kita bakal dibawa ke mana, Bang?"
"I have no idea at all for now."
"Looks like everything seems more creepy ya, Bang?"
"And I don't even know where we end up too. Entah ini perasaan gue aja atau emang Kak Dian punya hubungan tertentu sama Tante Shafira?"
"Maksud lo?" Tubuh William maju mendekati bisikan tak jelas Arif, demi mampu mendengar lebih jernih.
"Inget waktu pertama kali kita masuk katering si tante? Kita disuruh beres-beres dapur lama, Galih benerin kulkas sama kompor, sampe segala jenis ukuran tikus dikandangin Harsya. Gue rasa, metode ngajar Kak Dian buat latihan teater ini mirip sama yang pernah kita lakuin dulu."
"Intinya?"
William menyipitkan mata, menimbulkan keinginan Arif agar tidak banyak mengungkap bukti kecurigaannya terhadap Adrian. Maka, saat Arif mencoba menenangkan perasaan William dengan mengusak rambut kecokelatan itu, William kembali bersenang-senang mengobrol bersama Galih.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfiction(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...