Bukan anak senja, kopi, puitis macam Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta. Tidak, sama sekali jauh dari itu semua.
Kenalkan, saya biasa dipanggil Arif, putra sulung Bapak Santoso dan Ibu Indah, tulang punggung keluarga sejak kelas 12 SMK jurusan teknik kendaraan ringan.
Tidak lagi menjalani aktivitas sebagai pelajar, maka menjelang petang ini saya habiskan dalam perjalanan pulang ke rumah. Berteman dengan debu, polusi, klakson, hiruk pikuk para pencari nafkah metropolitan? Biasa. Sampai rumah nanti juga bakal mandi kok, bersih lagi. Tenang saja.
Dibanding mengendarai motor atau mobil, saya lebih suka naik bus, dilanjutkan dengan commuter line. Aneh, kan? Padahal ada motor baru selesai dibeli kredit, hasil jerih payah memasarkan kendaraan mewah selama beberapa tahun, tetap teronggok apik di garasi. Malah buat pameran ibu setiap pagi berjualan nasi uduk.
Boro-boro menikmati secangkir olahan kafein dan menafsirkan segala lirik lagu Fiersa Besari di kedai terdekat, saya hanya ingin mandi dan segera beristirahat sesampai di rumah. Mana bus ini semakin penuh pula, semoga saya tidak menjadi pepes sesudahnya.
"Permisi, Mas."
Makhluk manis dalam bis, jika boleh mengutip sub judul salah satu novel karya Hilman Hariwijaya. Suara di samping kanan ini memang semanis kuah semur buatan ibu.
"Silakan, Mbak." Saya berikan sedikit tempat baginya berpijak dan berpegangan pada handle grip.
Jujur, saya rela terhalau macet sampai pagi, kalau senyum si mbak satu ini cuma-cuma diberikan di tengah letihnya mendelegasikan segudang tugas seharian.
"Kerja di mana, Mas?"
"Mbak ngajak ngobrol saya?"
"Hahahahaah! Siapa lagi selain Mas? Masa' kernet?"
Sebentar. Situasi ini seperti pernah saya alami, tapi kapan?
Seorang Arifin Manggala Putra diajak bicara wanita muda wangi parfum bebas mabuk? Wahh.. Galih harus tahu hal ini!
"Saya kerja di Porsche Centre Jakarta, Mbak. Mbak sendiri kerja atau kuliah?"
"Kerja, sama kayak kamu. Fresh graduate, ya? Kalau dilihat-lihat.. umur kita nggak jauh beda."
Dia cenayang atau sejenis agen rekrut pegawai sekelas Linked.in tersasar? Memang wajah saya semuda itu?
"Belum pernah kuliah, saya kerja habis lulus SMK." Tegas saya ketika busway kembali berjalan melewati halte Dukuh Atas.
"Tahu kok, hahahaha."
Tawanya menguar. Bunga-bunga perasaan saya mulai bermekaran. Ketahuan banget, nggak, sih betapa jomblonya saya?
Lah, tapi dia tahu dari mana? Sudah tahu kok masih bertanya?
"Kamu turun di mana, Rif?"
"Hmm? Oh, saya turun di Istiqlal, Mbak. Mbak sendiri?"
"Halte Monas." lugasnya singkat.
Tunggu, dia barusan bilang apa? 'Rif'?
Allahu akbar... jangan bilang kalau...
"Ternyata intuisi tajam yang kamu miliki benar sesuai cerita Kak Shafira. Dari tatap mata kamu, saya paham bahwa kamu bukan pegawai magang sembarang, Arifin. Bahkan ketika sudah bertahun-tahun, kamu pun nggak jauh berbeda dari yang saya duga."
Jumlah penumpang berkurang cukup banyak, menyebabkan saya dan wanita di samping kanan ini berjarak cukup longgar. Terbiasa menghadapi keanehan selama bekerja magang dahulu, fokus napas saya atur maksimal, tanpa ingin saling memisahkan pandangan.
"Mbak ini sebenernya siapa?"
Pertanyaan saya mungkin bukan suatu ancaman penting, karena dia justru mengambil selembar benda dari dalam tas, diserahkan santai kepada saya.
"Ambillah, Rif. Kamu bisa hubungi saya jika sewaktu-waktu kamu mengalami kesulitan bekerja. Tentu nggak mudah buat kamu menjual produk otomotif asal Jerman di negara berkembang, bukan?"
Sial, cakep-cakep tapi bikin bulu kuduk berjoget ria!
"Mbak ada hubungan apa sama Tante Shafira?"
Beranikan dirimu, Arif. Wanita muda ini hanya manusia, kaki kalian berdua sama-sama menginjak bumi. Dia pasti ketagihan juga kalau ditawari masakan ibu!
"Nggak ada," elaahh.. jangan senyum-senyum terus, kenapa sih?? "Kami cuma saling menyelidiki satu sama lain. Perlu kamu ketahui, saya nggak ada niat jahat sedikit pun sama kamu."
"Terus, maksud Mbak kasih kartu nama ke saya tuh apa?" Jangan bertindak gegabah, Rif.
"Waspada, teliti, mata elang.. persis seperti yang dia butuhkan. Hmm, menarik memang."
Ngomong apa sih kau, maemunah?
Dasar bodoh. Belum sempat saya lontarkan tanya lebih lanjut, telapak tangan kanan saya telah ia tarik untuk diletakkan kartu nama tersebut, kemudian ia melangkah mendekati pintu bus. Tampak bersiap turun ke halte berikutnya.
Ingin saya ikuti, namun tubuh menjerit lelah. Kesal? Sangat!
"Oh, ya. Pada saat kita kembali berjumpa, saya harap kamu mampu pecahkan makna kartu nama yang saya berikan. Paham, Rif?"
"Terima kasih atas pertemuan singkat ini. So, see you soon."
Siluet luar biasa berbusana setelan kemeja ruffle ungu feminin, rok span hitam selutut, beserta sneakers biru muda khas merek Skechers itu sejenak menerbangkan raga saya sejenak, mencoba mengagumi ciptaan Sang Pemilik alam semesta.
Cantik, misterius, penuh teka-teki. Di usia segini, lagi-lagi saya menghadapi Tante Shafira edisi kedua, yang saya kira... takkan pernah lagi dijumpai seumur hidup.
Woow, oke juga.
Sambil membaca kartu nama lengkapnya seraya duduk di sebuah bangku kosong bagian belakang bus, sekeras mungkin saya keluarkan kalimat istighfar dari tenggorokan, hingga mengagetkan beberapa penumpang lelaki bermasker di sekitar.
Nadia Muliardi
Sofco Witech Fashion
PJKT-02Bagaimana bisa saya menemukan anggota keluarga yang bermarga sama dengan si iguana kampret berwujud pangeran berkuda putih di busway, hah??
Kode kartu nama apalagi yang harus saya coba cari jawabannya? Ya Allah, haruskah ini terjadi kedua kali?
Ini mimpi bukan sih?!
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfic(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...