"Tumben ngaret, perasaan di jalan nggak macet-macet amat."
"Maklum, Wil, rumah Bang Galih sama Bang Arif kan emang rada jauh."
"Iya sih. Tapi Bang Oji sama Ko Reno ini lho, kirain malah kita yang telat, nggak tahunya kecepetan. Lu jadi mau minum apa?"
Rubik di tangan Harsya berhenti dimainkan, beralih pada buku menu minuman. Aloe vera mocktail dan ice hazelnut latte dipilih William untuk teman menunggu empat kakak kelas. Usai server mencatat pesanan, tangan William mengelus perban yang membalut lengan kanan.
"Kenapa nggak jadi ke The Pallas sih? Gede, cuy, tempatnya.. artis-artis kan sering main ke sono." Jelas William penasaran, tumben siswa lulusan SMA Labschool Kebayoran itu mengajaknya ke sebuah lounge baru tanpa merek.
"Semalem gua di-DM pengelola sini, diskon 50% buat pelajar, mumpung promo. Lu kapan kontrol ke dokter lagi?" Tanya Harsya.
"Lusa," William menaikkan alis kiri. "Kuliah perdana lo kapan?"
"Bulan depan, cuma gua masih kangen Jakarta. Nggak tahu kapan bakal ngisi kamar kos, tapi buku sama baju udah dipaketin bapak, udah ditatain juga sama ibu kos."
"Hmm, kangen Jakarta atau Tante Shafira, Cha? Nggak usah ngibulin gue deh."
"Please don't call me that cringe name anymore. Gue sengaja belajar di tempat jauh biar gua bisa lupain semua. Gua nggak mau terlibat sama kasus ini ono kucrut, fokus kuliah doang. Titik."
Tegas Harsya berkata sedikit mengagetkan mahasiswa semester tiga The University of Melbourne itu.
Sesuatu yang buruk di luar pengetahuan William menjadikan Harsya tampak tertutup dan dingin. Sorot pandang si adik kelompok malam pukul tujuh ini cukup berbeda, tak lagi memancarkan hangat riang, berbelok pada sikap tak ingin diganggu.
"Sya, lo nggak pengen cerita apa gitu ke gue?" William menggeser kursi sedikit condong ke kanan, mencari makna mengapa salah satu sahabatnya terkesan aneh.
Dua gelas minuman terhidang, dua orang itu kompak berterima kasih. Begitu melihat Galih dan Reno melangkah beriringan menjumpai mereka, William menarik tangan Harsya dan ikut berdiri menyambut.
"Ey yooo.. bocil-bocil kita!" Galih merentangkan tangan, memeluk sepasang bungsu kesayangan. "Maaf kelamaan, Ko Reren tadi mandi hampir setengah jam sendiri."
"Ngapain, Bang? Ngebabu?" Harsya menoleh ke arah Reno bermuka sepat.
"Dihukum Kak Irene nyikat lantai kamar mandi dia dulu, gara-gara semalem gua minta shampoo dia nggak bilang."
Alasan Reno mulai melumerkan suasana. William kembali santai, Galih mengikik halus sambil menghabiskan minuman Harsya hampir separuh gelas, Harsya pun memanggil server untuk menuliskan order baru.
"Kentang goreng sama Sprite dua." Ucap Reno singkat, pusing terlalu lama menghirup aroma karbol sepanjang sore diiringi omelan Irene.
"Tambah Martell VSOP double shot, Mbak, mixing-nya sparkling water aja. Makasih."
Si mbak server tentu senang hati berlalu, giliran Reno hendak bercuap tak mengerti akan jalan otak adik mereka.
"Jam segini lu enak amat mesen miras, berasa nggak punya dosa. Nggak sadar dulu lo habisin setengah liter tuh cognac yang lo kira es teh manis?"
Tak dinyana, Harsya mendelik tak suka. "Suka-suka gue kenapa sih, Bang? Sensi bener. Kalo lu nggak mau traktir, gue bisa split bill. Maaf aja, duit jajan pas SMP beda jauh banget sama sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWASENA [Telah Terbit] ✔️
Fanfiction(Buku Ke-2 AKARSANA) (Telah dibukukan oleh Redaksi Athena) . . Arif, Galih, Fauzi, Reno, William, dan Harsya kembali mengemban misi menyelamatkan seorang penyanyi opera di sebuah kelompok pertunjukan ternama, dari sebuah organisasi perbudakan hibura...