29 - Tugas Ketiga

1K 233 247
                                    

"Kenapa harus Gladista? Bukan Natasha, Annisa, Miranda, Shafira?" Harsya bertanya memperhatikan Glad tertidur beralas kasur bayi.

William merotasikan bola mata. "Eeh, buseett.. itu yang terakhir mau lu banget apa gimana, Cha?"

"Lu tahu filosofi ban serep, nggak, Wil?"

"Apaan emang?"

"Persiapan semisal ditolak Tante Shafira, gue rela nunggu Dek Glad 20 tahun lagi, Wil."

"Otak lu bener-bener.." William mendesah heran, Harsya cengar-cengir tak berdosa. "Lu pikir Om Tama sama Tante Lila mau anak bungsunya dikawinin cowok umur 40-an? Ya Tuhan Yesus, lu nggak kena efek virus aneh dari kambing gue, kan?"

Dua sahabat ini memang sempat menginap dua malam di villa William, memenuhi keinginan Harsya bertemu berbagai macam peliharaan William seperti sapi, kambing, bebek, burung merak, burung unta, kukang, sampai anjing berjenis alaskan malamute sejumlah lima ekor, tampak terawat dengan sangat baik.

"Enak aja, gua ngomong secara sadar nih." Harsya memukul bahu William menggunakan palu mainan milik Glad.

"Bodo. Gua bilangin nyokap lu kalo lu mabok pokoknya." Balas William, melemparkan sebuah bantal berbentuk dadu ke wajah Harsya.  

"Cantik banget, Adeekk.. utututuu.. mirip bokap lu dah, Gal. Bibir sama hidungnya tengada lawan."

"Bener kata si Oji. Putih gila kulitnya, persis Tante Lila."

Sibuk membicarakan bentuk fisik, Fauzi dan Arif seolah larut dalam dunia baru. Berbinar tatap mereka menyambut, menyiratkan senyum lembut Reno di samping William, tiba-tiba melangkah mendekati Mitha, sang mama.

"Kenapa, Ren?" Mitha meletakkan gelas jus, merasakan lengan bajunya ditarik Reno pelan.

"Mau kayak Glad juga, Ma, satu aja." Reno setengah merengek.

"Hah? Kamu pengen punya adek?"

"Iya, Ma."

"Kan udah ada Irene."

"Ogah, Ma. Galak. Reno pengen yang lucu, bibirnya kecil, nggak gampang rewel. Please, bikinin satu lagi, Ma. Ya, yaaa?"

Tawa para orang tua meledak, Chandra dan Mitha mendadak sakit perut, Irene yang baru datang membawa senampan kue ditemani Jana tentu bingung.

"Rene, Rene, lihat adekmu ini. Udah gede, jadi dirut operasional, masih pengen punya adek bayi lagi. Demen dia sama Glad, YA KALE MALIH!" Semprot Papa Reno, a.k.a Bapak Chandra Dewangkara. Lapis legit di tangan belum habis, tawanya sungguh bahagia.

"Astaghfirullahal adzim.. dikata bikin anak seenak ngadon pisang goreng, Ren? Haduh. Daripada minta Papa sama mama, sana lamar Sissy, kasih temen buat Glad." Beritahu Irene, memerahkan telinga Reno seketika. 

"Kan maunya adek, kalau anak mah beda lagi. Ish, Kakak nih!"

"Berani langkahi Kakak? Udah siap hidup berumah tangga kamu, Ren? Ceh. Main uler tangga aja suka nangis tiap keduluan Kakak!"

"Maaa! Kak Irene reseeeee'!"

"Kan, kecil-kecil bilang udah gede, masih berani ngadu! Apa? Mau adek? Sono piara kadal!"

"Mamaaa!"

"Sssstt.. Irene, stop. Jangan godain adeknya terus. Astaga, gimana mau ada adek bayi baru di keluarga ini? Hobi kalian masih aja ribut nggak penting, udah pada tua juga!" Mitha akhirnya menengahi, pusing mendengar Reno berteriak kesal. Bahaya kalau Glad terbangun dan menangis.

Tak terima, kakak beradik berbeda usia delapan tahun itu belum ingin menyudahi perkara.

"Kak Irene ngomongnya ngeselin, Ma!"

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang