Serpihan Waktu I (Side Story)

551 108 18
                                    

"Lu demen nonton ini, Bang?"

"Mau gimana lagi, nih sinetron emang favorit ibu gue. Kalo gue rebut remote-nya buat ngecek ada film apa di stasiun TV lain, besok bisa ngambek seharian."

Harsya tersenyum mengerti, menyisir kondisi sekitarnya yang sedang menghabiskan waktu di kamar William.

Ada Fauzi, Reno, dan si pemilik kamar bermain stacko uno. Arif asyik menyaksikan tayangan sinetron sambil meminum segelas es kopi susu gula aren, hasil pesan via ojek online. Sedangkan Galih tampak tergeletak nikmat mencium bantal di samping kiri Harsya.

Agak random mengingat mereka semua sudah beranjak cukup umur. Harsya dan William akan naik ke semester tiga, mereka didapuk menjadi panitia PKKMB juga homecoming party bagi para mahasiswa baru. Cukup mengejutkan karena Harsya berhasil menyusul William melalui program akselerasi.

Galih, Arif, dan Reno sibuk mencari nafkah. Fauzi baru menyelesaikan program magang, hendak memasuki tahun terakhir kuliah. Harsya sempat tidak rela mengikhlaskan masa muda dengan bertarung melawan para penjahat kelas kakap, ditambah tidak sanggup jika harus menemukan William terluka kedua kali. Namun, ia tidak berharap lebih selain berdoa agar mereka selamat, tanpa menginginkan privilege menjebak.

Menggenggam hati Shafira, misalnya.

Jikalau Arif mendalami karakter Haico Van Der Veken dan Rangga Azof sampai tertawa terpingkal-pingkal atau sekedar terhanyut, maka Harsya memilih membuka dan menutup aplikasi ponsel berkali-kali.

Setahun menikmati masa beranjak dewasa dengan mengikuti kuliah, magang di Ayana MidPlaza, kini berletih lesu nan lunglai mendalami peran sebagai pangeran bungsu abad ke-16, Harsya sampai pada titik jenuh.

"Bang,"

"Hmm?" Arif menyahut ringan.

"Bang Ali tadi perasaan ada di sini, pergi ke mana, ya?"

Arif celingukan. Heran, pergi mengambil minuman kok lama amat?

"Mending susul tuh abangnya Wiliem dah, Cha. Gua takut jatah biskuit kita dari Tante Sarah bakal dihabisin semua."

"WAKAKAKAK!" Melebarkan mulut sembari mengeplak bantal adalah tipikal seorang Harsya. Begitu puas, ia lantas keluar kamar, menyapa beberapa asisten rumah tangga yang masih sibuk berlalu lalang.

Hingga kini, Safa tetap setia bekerja di rumah Keluarga Zhong, naik pangkat menjadi trainer para ART baru, meski hanya seminggu tiga kali aktif berhubung usaha warung nasi milik Burhan dan Safa telah banjir konsumen.

Perlahan, telapak tangan Harsya meraba lapisan wallpaper putih gading bermotif bunga terantai rancangan desainer interior terkenal dari Tiongkok, memikirkan cukup lama dirinya mengenal William sejak pertemuan pertama mereka di restoran Berkah Amunggraha. Harsya teringat, William cuek dimarahi sous chef akibat memecahkan selusin piring, menyuruhnya berguru pada Harsya agar mengetahui cara dishwasing dan polishing yang baik dan mengilap. 

"Gue kenapa, ya?"

Harsya terduduk kaku di atas anak tangga, memegang kepala sebelah kanan ketika terasa sedikit tegang, menghela napas panjang, mencoba mensugestikan kalimat positif.

"Nggak, Sya, lo nggak boleh nyerah. Apapun yang terjadi, lo jangan berhenti di tengah jalan."

***

"Kasihan gue sama Harsya."

Celetukan Setya memindahkan konsentrasi Ali dan Reyhan, menghadap wajah tegas yang tiba-tiba melemah tersebut. Ali berhenti menata aneka cookies pesanan tuan muda di atas piring, diikuti beberapa gelas es teh manis yang diaduk Reyhan.

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang