52 - Battlefield (The Last Kurawa) II

688 140 44
                                    

*Flashback*

"Bang, sini deh!" Harsya memanggil Fauzi, Galih, dan Arif usai menemukan beberapa lubang kunci di tengah dinding tripleks. "Gue curiga ini pintu penghubung, tapi nggak bisa gue tarik."

"Pasti ada kuncinya di sekitar sini, biar gue cari." Fauzi bergerak cekatan, mengobrak-abrik isi tas ransel hitam, dibantu Galih.

"Ketemu!" Seru Arif begitu sebuah kunci berhias gantungan lumba-lumba perak ia dapatkan di antara sela-sela kosmetik yang berjajar di atas meja rias.

"Lo tahu ini pintu penghubung mengarah ke mana, nggak, Cha?"

"Kalo gue ngerti ya, Bang, udah dari tadi gue tarik kalian semua ke sini."

Arif mengulum tawa, berusaha memutar kunci saat Galih mendesis kesal bin pasrah.

Cklek..

"Alhamdulillah." Keempatnya menyuarakan syukur.

Luar biasa, menurut Fauzi dan Harsya, garasi luas yang menampung beberapa mobil mewah siap memanjakan mata para kwartet pria dewasa muda tersebut, minus Reno dan William yang sibuk berkomunikasi dengan pihak luar di dalam dress room.

Mereka berdua tidak tinggal diam mendengar kalimat berbau menyerah keluar dari mulut Galih, usaha sekeras apapun, wajib dijalankan.

Kembali ke dunia otomotif favorit Arif, manakala ia menatap takjub aneka jenis sport car misterius di dalam gedung teater ini.

"Bagus, ya? Gua jadi pengen punya sebiji

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagus, ya? Gua jadi pengen punya sebiji." Galih berkacak pinggang kagum. "Tuan Hikaru jualan pasir ke Singapura apa, ya? Nggak mungkin hasil dari bikin pertunjukan teater sama jadi karyawan perusahaan doang."

"Lo tahu tuh cowok main kotor kayak mana, Gal.. jalan pintas kegelapan kan emang sumber kekayaan dunia, tapi nggak bakal bisa lo bawa sampe akhirat."

"Cakep emang Bang Oji."

Keduanya saling tos.

Fauzi dan Galih asyik berghibah soal harga serta status halal kendaraan roda empat bernilai milyaran itu, Harsya sesekali menghadap ke belakang untuk mengecek situasi...

...maka ada Arif berdiri termenung, menyandarkan diri di tembok.

Ya Allah, kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa hamba dan temen-temen harus terjebak dalam permainan orang kaya yang nggak ada sangkut pautnya sama hidup Arif?

Duhh.. Arif jadi kangen ibu. Perasaan pas masih sekolah sering bikin repot ibu. Maafin Arif, Bu.

Arif janji, Bu, kalo udah sukses nanti.. rumah kita direnovasi, Ibu bisa berangkat umroh sama haji, Arif bisa tinggal mandiri di apartemen yang Arif beli sendiri, Arif nggak akan susahin hidup Ibu lagi.

Kalo perlu, Arif akan nikah sama Mbak Nadia biar Ibu bahagia.

Ya, walau perih hati karena perpisahan filosofi batin. Bukan begitu, Rif?

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang