48 - Pesona Airlangga II

788 154 30
                                    

Konon, Pangeran Airlangga dianggap sebagai simbol pesona putra bertahta tinggi di kalangan priyayi dan residen setempat. Tingkah laku kelima adik lain yang tak kalah menyentuh hati pun menjadikan diri raja negeri langit berbalut dengki.

Anggraini ditugaskan menarik tali romansa Airlangga, diyakini oleh Pradamulia, Indrakelana, Kertawira, Nareshwara, dan Dewabharata. Setelah itu, kekuatan sihir Anggrainilah yang menurunkan keenam pria bijaksana ini ke bumi, berwujud manusia setengah hewan laut alias kepiting dan lobster.

Terdampar di tepi Sungai Ciliwung bukanlah keinginan si anak pertama yang terlebih dahulu siuman, meneliti sekitar, menghela napas berat mengetahui cobaan tak masuk akal harus dilalui bersama para saudaranya.

Satu per satu tubuh lincah itu tersadar, berseru tak percaya akan tindakan konyol ayah kandung Putri Anggraini demi merebut kursi jajaran dewan penasehat orang tua mereka. Tentu saja, untuk dapat dihasut dan menyingkirkan mereka menjauh dari jangkauan hubungan keluarga bangsawan.

Kesal Indrakelana mendecak, bisa-bisanya cangkang menghiasi bagian punggung, mana diikuti oleh Kertawira, Dewabharata, Pradamulia, berikut Nareshwara pula.

"Celaka, bentar lagi kita bakal dipanggang hidup-hidup sama si pompa aer. Dikira seafood beneran." - Fauzi.

"Konsentrasi, Zi, inget kita bakal mainin lagu gambang kromong favorit lu kalo bisa nikahin Berlian." - Arif.

Jika menilik realita, sesungguhnya Arif sedang membesarkan hati Fauzi, supaya ketidak jelasan pekerjaan ini segera berakhir.

"Duli Kakanda, ke mana kami harus mengembara untuk mendapatkan tempat tinggal? Kini air adalah sumber penghidupan, namun hamba tak sanggup jika terus menerus berendam."

Wajar si bungsu mengeluh risau, tak pernah ia sangka bahaya mengintainya begini.

"Tampaknya, kita tidak perlu tergantung pada Dewi Tirta." Indrakelana meloncat naik ke atas tumpukan batu, mencoba memanjat bebatuan hingga berani menginjak tanah menggunduk datar. "Lihat, aku masih bernapas baik. Ayo, kalian harus naik juga!"

Reno mengingat betul dialog ini, berhubung saat praktek dibantu oleh Sissy kala senggang. Seperti waktu bermalam minggu, misalnya.

"Tidak ada salahnya mengikutimu, toh aku memang ingin segera mencari makan." Nareshwara lantas beranjak merayap naik, dan saat mampi berdiri di samping kanan, disorakinya Kertawira, Dewabharata, serta Pradamulia yang juga mulai melakukan hal serupa.

"Arif! Eh, Ya Allah, gue tolol banget pake nyebut nama asli. Airlangga! Buruan naik! Mau ke warteg, nggak, lo??"

Entah bagaimana improvisasi Galih bekerja ketika penonton dibawa ke dalam budaya betawi di tengah tekanan Hikaru fokus menonton di baris depan sana, sesuai tata lingkungan latar mereka berada.

Tak ada lagi kosakata baku terucap. Buyar semua dalam kepala.

Yang Galih tahu pasti, ia wajib mengimplementasikan latihan yang membuatnya menyerah sebagai pegawai kantoran, beralih ingin membuka usaha service barang elektronik saja.

Sementara Reno mendesis sebal, William terkikik, Harsya berusaha kuat tidak ngakak, maka Fauzi memukul leher Galih gemas.

"Apa sih kok lu jadi gebukin gue?"

"Lu sendiri ngapain nyuruh kakak lu cepetan naik? Terus apaan tuh warteg? Baru denger gue!"

"Cehh.. orang kagak gaul mah begini. Biasa makan di ruang makan keluarga serba ada, jadi nggak tahu selera rakyat." Nareshwara menggoyangkan telunjuk kiri bernada meremehkan, merangkul bahu Pradamulia sok akrab. "Gue kasih tahu, di warteg banyak cewek cakep. Apalagi mbak-mbak yang masakkin mie instan, beuh.. bening nyegerin!"

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang