50 - Semerbak Wangi Kasturi

807 161 57
                                    

*Flashback*

Terantuk mengawang menerobos awan, melewati langit biru, menatap cemas setiap kali bersitatap dengan semua orang dalam kabin kelas bisnis, sukses menggelisahkan benak Indah sepanjang penerbangan dari I Gusti Ngurah Rai menuju Itami.

Teringat senyum Arif meninggalkan rumah selepas sarapan, berangkat bekerja menaiki bus, sesampai di rumah sebelum maghrib, kemudian beristirahat membicarakan hal-hal receh saat makan malam.

Indah sangat merindukannya, tidak menampik apalagi meraung menolak.

"In," Chandra duduk menyapa di kursi kosong sebelah kanan. "Pramugari dari tadi bolak-balik tanya lu mau makan apaan, kok malah didiemin? Nggak suka makanan pesawat? Apa mau makan bekal roti gue dari Mitha?"

"Gue nggak laper, Ndra, baru pertama kali naik nih burung terbang, ngeri mabok. Hehehe.." Indah mencoba meleburkan kaku.

"Kita masih ada 4 jam perjalanan, tolong jangan sia-siain kesediaan Naren yang udah keluar duit bawa kita semua susul anak-anak, termasuk Jana, Berlian, sama Sissy tanpa diganti. Lo butuh tenaga, Arif pasti sedih kalo tahu nyokapnya sakit gegara nggak mau makan."

Telapak tangan Chandra mengusap lembut bahu Indah, ketika wanita itu tidak berhenti menggigit kukunya khawatir.

"Lo tahu? Beberapa hari sebelum Dimas pergi, dia minta tolong gue sama anak-anak buat jagain elu, Arif, juga Asa, seolah dia percaya banget kalo kita semua ada ketika kalian butuh. Meski Asa lebih milih ikut Dimas, bukan berarti lo sama Arif bisa lalai dari pengawasan gue dan lainnya."

"Anak-anak kita memang baru ketemu pas udah dewasa, In, karena kesibukan orangtuanya masing-masing dan mereka harus terpaksa jalanin takdir awal dari masalah ini. Tapi satu hal yang harus lo tahu..."

"...kita nggak bisa tinggalin salah satunya sendirian."

Derai air mata Indah sontak mengagetkan Chandra, membawanya ke dalam pelukan hangat, disertai iba begitu Wahyu, Naren, Tama, dan Burhan datang menghampiri.

"Gue nggak mau kehilangan Arif, Ndra... gue pengen anak gue pulang ke rumah. G-gue nggak bakal bisa maafin diri sendiri kalo sampe Arif kenapa-napa. Gue sayang banget sama dia.."

Wahyu berjongkok, membelai kepala Indah. "Nggak apa-apa, In, banyakin nangis aja sekarang. Pas kita mendarat nanti, buang sedih lo, ganti sama tekad kuat kalo lo bisa bawa Arif balik ke rumah lagi, seperti halnya gue yang harus nikahin Fauzi sama Berlian secepetnya habis mereka lulus kuliah."

"Lo nggak sendiri, Indah." Burhan menimpali, turut menepuk-nepuk lembut pergelangan tangan Ibu Arif tersebut. "Arif bukan cuma tanggung jawab lo, semua anak termasuk pasangan mereka, wajib kita selametin. Tenang, oke? Harsya aja kuat nunggu Shafira sampe bisa wirausaha sendiri, gue yakin Arif pun demikian."

"Semua salah gue.." Indah masih larut dalam tangis, mengiriskan hati Naren dan Tama yang masih terbungkam rapat. "Andai Arif nggak perlu nunggak bayar sekolah, dia nggak usah kerja sama Leon dan Shafira, dia nggak bakal pergi sejauh ini tanpa kabar yang... Ya Allah, gue bahkan nggak tahu dia masih hidup atau nggak!"

"Istighfar, Indah!"

Tama bergegas menarik Indah, menampakkan wajah letih memerah berurai tangis.

Sekali lagi merentangkan haru tak tega bagi mereka, termasuk Chandra yang berusaha tegar.

"Lihat gue baik-baik!" Tama berucap sedikit keras. "Arif, Galih, Harsya, William, Fauzi, sama Reno bakal selalu baik-baik aja. Gue berani bertaruh atas nama bokap gue, mereka semua di bawah perlindungan gue sebagai aparat keamanan di sini. Dan jangan pernah lo salahin diri lo sendiri karena semua udah terjadi di luar kuasa lo, paham??"

NAWASENA [Telah Terbit] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang