Bestfriend - Hamada Asahi

1.4K 198 1
                                    

"Emang kapan Lo berangkat?"

Asa melirik, lanjut memainkan sedotan di gelas minumnya. "Senin besok."

Gue mengangguk kecil, "Nao aman kok di rumah. Gue bisa sering ke rumah buat main sama dia. Lagian Nao udah gede, bisa jaga diri, Sa."

Asahi menghela napasnya. "Nao sendirian kalo gue pergi."

"Lo bisa ngelepas mimpi Lo?"

Dia menggeleng. "Gue udah susah payah buat ngejar mimpi gue. Gak akan gue lepas."

Gue memajukan diri, merapat pada meja yang membatasi kami. "Lo harus percaya sama Nao, kalo dia bisa jaga dirinya sendiri." Kata gue menatap manik matanya tepat.

Asahi berdehem, "gue bawa dia aja ke Korea?"

Gue ternganga. Masih nggak nyangka dengan pemikiran Hamada Asahi kali ini.

Kemana otak jeniusnya??!

"Gue tau Lo khawatir. TAPI GAK GITU JUGA ASA!" Balas gue menahan untuk tak berteriak terlalu kencang karena sore ini kafe cukup ramai pengunjung.

"Udah, pikirin dulu. Gue harus balik kerja." Kata gue, berdiri dari kursi. Asahi hanya mengangguk kecil, menikmati ice americano-nya.

Gue kembali ke balik pantry, membantu mbak Ellen menyiapkan kopi untuk para pelanggan.

"Jam kamu udah selesai, kenapa gak pulang aja?" Tanyanya meski masih sibuk menyeduh kopi panas ke cangkir.

"Kafe lagi rame. Pasti mba repot kalo ngurus sendiri." Balas gue seadanya. Mba Ellen malam ini harus sendirian di balik pantry, karena Bang Yuta tak bisa datang ke kafe malam ini.

"Ada yang lain, Sya. Duluan aja, kasian Asa udah nunggu kamu dari sore." Ujarnya lagi memaksaku untuk pulang. "Bang Yuta lagi sakit, kamu tega ninggalin dia di rumah sendirian?"

"Mbak beneran gakpapa?" Tanya gue mengerjapkan mata pelan. Mbak Ellen mengangguk yakin. "Tenang aja, kalo kerja sama kakak kamu juga lebih sering ditinggal ke dalem."

Ya, kafe kecil ini punya keluarga gue. Gue dan Bang Yuta mengurusnya sendiri. Ah, lebih tepatnya gue mulai bantu-bantu semenjak lulus SMA ini.

Gue menghampiri meja Asahi, dia masih menatap langit yang mulai gelap dari balik kaca. "Ayo balik." Ajak gue begitu saja. Dia menoleh, segera mengantongi ponselnya di atas meja.

"Sya, gue udah mikirin ini tadi." Dia berucap, menarik tangan gue buat duduk di sofa panjang yang sama dengannya.

"Apa?" Tanya gue segera melepas genggaman tangannya di pergelangan tangan gue.

"Gue bakal tetep berangkat. Nao bakal tetep di sini. Jadi, gue minta tolong sama Lo. Gue titip Nao."

"Sa, tanpa Lo minta pun gue bakal jagain Nao. Gue udah nganggep Nao adek gue sendiri. Gitu pula bang Yuta." Papar gue langsung, "dulu waktu Lo harus study wisata. Nao juga aman kan sama gue?"

Asa mengangguk, "itu cuman tiga hari."

"Apa bedanya?"

"Gue bakal lama di sana, Sya."

Gue menghela napas. "Lo bisa telpon gue ataupun Nao langsung tiap hari."

"Iya."

Dapat jawaban yang hanya sekadar iya buat mood gue turun. Gue segera bangkit, berjalan keluar kafe. Asahi di belakang mengikuti langkah gue ke parkiran, mengambil sepeda.

"Lo ngapain?" Tanya gue sewot saat asa lebih dulu mengambil sepeda gue.

"Gue naik bus ke sini. Jadi mau pake sepeda lo." Jawabnya kalem. "Ayo. Lo bakal kangen gue boncengin naik sepeda, Sya. Mumpung gue masih di sini."

SIALAN.

Dengan gengsi, gue naik ke boncengan sepeda cewek punya gue itu.

"Udah?" Gue hanya berdehem pelan menjawabnya, Asa mulai mengayuh sepeda. Turun ke jalanan yang lumayan ramai sore ini.


"Eh, Sa. Inget nggak dulu kita hampir jatoh mau nabrak bebek di situ!" Seru gue waktu kita ngelewatin jembatan di atas sungai kecil.

"Lo nyungseb ke aspal." Balasnya tertawa ngakak.

Gue menipiskan bibir, jadi melayangkan tabok ke punggungnya. "Lo malah jatoh di atas bebeknya sampe bebeknya mati!"

"Bibir Lo bengkak udah kayak bebek." Lanjutnya meledek, gue jadi teringat kejadian dulu. Gue yang jatoh nyungsep ke aspal, bibir gue udah nyium aspal duluan sampai bikin bibir gue bengkak.

"Lo inget gak? Gegara itu Bang Yuta jadi ngejar Lo."

Dia mengangguk antusias. "Nao jadi takut liat Lo." Balas Asahi tertawa.

Gue tertawa, mengingat dulu, waktu pulang Nao yang masih kecil nangis ketakutan gara-gara liat gue.

"Nao udah gede, Sa. Kalo kita jatuh lagi, dia bukan nangis ketakutan tapi nangis karena liat abangnya makin petakilan." Kata gue disela tawa. Mendengar itu Asahi makin tertawa tak bisa berhenti.

-flow

Treasure ImagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang