Epilog

587 79 27
                                    

Tinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤

Tak ada gairah sama sekali di dalam dirinya. Aranasya berjalan dengan gontai menyusuri Rumah Sakit. Tak peduli dengan orang-orang yang kini menatapnya, dikarenakan matanya sembab, dari tadi ia tak henti-henti menangis.

Saat hendak di depan kamar mawar nomor delapan Aranasya tidak menemukan keberadaan Dima, Adrian maupun Ayah. Aranasya mengusap pipinya yang basah. Terlintas di pikirannya mengenai Dima yang sudah dialihkan ke kamar jenazah. Bagaimana ini bisa, bahkan dirinya belum sempat melihat untuk terakhir kalinya.

Seorang suster berjalan melewatinya, sontak hal itu membuat Aranasya menghentikan langkahnya. “Su—sus pasien yang ada di ruangan ini dimana sekarang?” tanya Aranasya panik.

“Beberapa menit yang lalu pasien dialihkan ke kamar jenazah,” jawab Suster.

Aranasya mengangguk pelan seraya berkata, “Terimakasih.” Suster itu pun berlalu pergi.

Lagi dan lagi netranya mulai memanas. Satu cairan bening berhasil keluar dari pelupuk matanya. Refleks Aranasya menjatuhkan buku diary milik Dima. Kakinya benar-benar lemas sepertinya ia tidak mampu untuk berdiri lagi. Aranasya menyandarkan tubuhnya di dinding.

Kenangan bersama Dima kini diputar dalam ingatannya. Di kehidupannya hanya kenangan itu yang paling membekas di hatinya. Kenangan yang sangat indah. Namun, kini berujung sudah. Baginya Dima merupakan cinta pertama dan terakhirnya. Setelah itu Aranasya tidak ingin jatuh cinta lagi. Karena baginya kisah Dima dan dirinya sudah menjadi pembuka dan penutup kisah cintanya. Sudah cukup baginya merasakan sakit yang begitu hebat.

Seorang lelaki dengan memakai kursi roda berhenti di belakang Aranasya. Lelaki itu mengambil sebuah buku diary yang tergeletak di lantai. Semburat senyuman terukir di bibirnya kala melihat buku itu.

“Cintanya ada di sini, bagaimana dia bisa pergi?” tanya lelaki itu.

Suara itu berhasil menyadarkan Aranasya dari lamunannya. Aranasya pun berbalik badan menghadap sumber suara. Air matanya kembali luruh ketika melihat sosok yang ada di hadapannya. Tanpa berpikir panjang Aranasya pun memeluk lelaki itu dengan erat.

Isakannya semakin terdengar jelas. Aranasya menenggelamkan wajahnya di dada bidang lelaki itu. Kebahagiaan versi dirinya, yaitu ketika bisa melihatnya masih bisa tersenyum. Lelaki itu mengelus puncak kepala Aranasya, sesekali lelaki itu mencium puncak kepalanya.

Aranasya melepaskan pelukannya, ia bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa Aranasya melakukan hal bodoh seperti itu. Karena kebodohannya Aranasya sampai tidak berani menatap lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum kala melihat wajah Aranasya yang mulai memerah. “Cengeng,” ejek Dima. Aranasya tersenyum bahagia kala mendengarnya.

Seorang lelaki berjalan dengan gontai menghampiri Aranasya dan Dima. Terlihat dari raut wajahnya yang bahagia. “Bisa-bisanya orang ngeprank mati ya,” gerutu Adrian. Sekilas terbesit sebuah ingatan di dalam benak Adrian.

Kala itu Adrian dan Ayah tengah berada di kamar mawar nomor delapan. Tidak bisa dipungkiri hatinya sakit, ketika melihat adik kesayangannya terbaring di atas ranjang dengan ditutupi kain putih. Apalagi Ayah sangat terpuruk. Karena sebelumnya hubungan Ayah dengan Dima memang sedang tidak baik.

“Dim, kenapa lo pergi ninggalin gue,” lirih Adrian tak kuasa menahan tangisannya.

Ayah mengelus punggung Adrian mencoba menenangkannya. “Ayah minta maaf Dima, Ayah ngerasa salah selama ini,” ucap Ayah.

Nervous (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang