Sebuah kebenaran

624 115 5
                                    

Sudah satu minggu lamanya. Namun, Jhihan masih tetap sama bersikap dingin kepadanya. Aranasya tidak tahu alasan di balik sifat dinginnya itu.

Aranasya mencoba untuk mencari kebenarannya. Namun, Jhihan selalu menjauhinya. Bahkan di saat bekerja kelompok Jhihan sama sekali tidak menatap ke arahnya. Padahal ia dan Jhihan duduk bersebelahan.

Saat hendak ingin pergi ke kantin, Jhihan sudah mendahului Aranasya dan Aldi. Tanpa mengajaknya bersama Jhihan berlalu begitu saja. Aranasya hanya bisa terdiam kala melihat Jhihan bertingkah layaknya orang asing.

"Jhihan kenapa sih Ra?" tanya Aldi yang tengah berjalan beriringan dengan Aranasya.

Aranasya tersenyum seraya menjawab, "Gak tahu."

Hingga tak terasa tiba di kantin. Keadaan kantin seperti biasa penuh dipadati siswa-siswi. Aranasya dan Aldi pun memilih tempat di bagian pojok.

"Lo mau pesen apa?" tanya Aldi.

"Batagor sama es teh manis aja Di," jawab Aranasya.

Aldi pun berlalu pergi untuk memesan pesanan dirinya juga Aranasya. Sedangkan Aranasya kini tengah menunggu Aldi di mejanya.

Ketiga lelaki itu berjalan beriringan memasuki kantin. Aranasya dibuat terkejut ketika Dima kini tengah menatapnya.

Semakin ia pandang dari jauh, semakin Dima mendekati ke arahnya. Ia tidak tahu apakah dirinya kini tengah bermimpi atau tidak.

Wujud itu semakin nyata kala Dima duduk di kursi bernotabene di hadapannya. Aranasya menepuk pelan pipinya dengan tatapan tak beralih dari Dima. Masih tidak percaya bahwa ini sungguhan, ia pun mencubit dirinya sendiri yang membuatnya merasa kesakitan.

"Aw," ringisnya seraya mengelus-elus tangan yang terasa sakit.

Dirinya merasa kesakitan di sisi lain kini Dima malah tertawa di atas penderitaannya. Untuk pertama kalinya ia melihat Dima tertawa bahagia. Aranasya ikut tersenyum kala melihatnya.

"Nanti sore lo pulang bareng gue," ajak Dima.

Apakah Aranasya kini tidak salah mendengar? Dima mengajaknya pulang bersama untuk pertama kalinya?

Dima pun berlalu pergi meninggalkan Aranasya yang masih terdiam seribu bahasa. Aldi dan Dima berpapasan. Aldi menatapnya dengan tatapan tajam sedangkan Dima memasang wajah datarnya.

"Lo ngapain tadi di sana?" tanya Aldi.

Dima tersenyum miring seraya berlalu pergi tanpa menjawab pertanyaan dari Aldi. Dima pun menghampiri meja teman-temannya. Galang menyambutnya dengan memberikan tos tangannya. Entah apa maksud dan tujuannya.

Aldi pun menyimpan piring yang berisikan batagor di meja. Aldi pun mendudukkan pantatnya di bangku panjang.

"Dima barusan ngapain ke sini?" tanya Aldi.

"Gak ada apa-apa," jawab Aranasya. Ia pun memakan batagornya.

Tak lama kemudian Mang Agus pun datang dengan membawa dua gelas es teh manis. Mang Agus pun menyimpan dua gelas itu di meja, lalu Mang Agus pun berlalu pergi.

"Ra, lebih baik lo jauhin Dima," ungkap Aldi tiba-tiba yang membuat Aranasya tersedak makanan.

Aranasya pun dengan cepat mengambil segelas air, lalu meneguknya.

"Sorry Ra."

Aranasya mengangguk seraya menyimpan segelas es teh manis di meja. "Kenapa kamu tiba-tiba nyuruh aku jauhin Dima?" tanya Aranasya.

Aldi terdiam sejenak. "Karena gue cemburu Ra," ungkap Aldi dalam benak.

"Di," panggil Aranasya.

Seketika Aldi tersadar dari lamunannya. "Ka—karena..."

Aranasya menatap Aldi dengan dalam seraya mengangkat kedua alisnya.

"Gue takut Dima malah mainin perasaan lo," ungkap Aldi.

Aranasya tersenyum mendengar pernyataan itu. Aldi memang sahabat terbaiknya sampai ia tidak menginginkan hal buruk terjadi pada Aranasya.

"Ya-yaudah makan lagi Ra," perintah Aldi terbata-bata. Aldi pun kembali memakan batagornya. Aldi tidak ingin Aranasya tahu kebenarannya akan dirinya.

Bel berbunyi menandakan pelajaran telah selesai. Semua siswa-siswi pun berhamburan keluar. Satu persatu temannya sudah pulang kini tinggal dirinya dengan Jhihan yang berada di dalam kelas. Aranasya masih membereskan buku-bukunya untuk di masukkan ke dalam tasnya.

Sedangkan Jhihan sudah selesai, ia memutuskan untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memegang tangannya.

"Jhi tunggu," pinta Aranasya.

"Setiap kali aku berusaha mendekati kamu, tapi kamu malah menghindar," ujar Aranasya.

Jhihan terdiam seribu bahasa.

"Sebenarnya aku salah apa Jhi selama ini? Kenapa kamu tiba-tiba jauhin aku?" tanya Aranasya.

"Karena gue iri sama lo!" jawab Jhihan dengan nada membentak.

Sebuah pengakuan yang mengejutkan bagi Aranasya. Kali ini Aranasya dibuat bungkam.

"Keluarga lo bisa ngeluangin waktu buat kumpul, sedangkan keluarga gue...." Jhihan memaksakan seulas senyum.

"Gak ada, mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing," sambung Jhihan ia menyeka air matanya yang membasahi pipinya. Jhihan pun berbalik badan menghadap ke Aranasya.

Jhihan menepuk pundaknya seraya berkata, "Lo beruntung Ra, lo harus bersyukur." Jhihan tersenyum kembali. "Banyak orang yang ingin ada di posisi lo, tapi mereka gak bisa," sambung Jhihan.

Sebelum pergi Jhihan menepuk pundak Aranasya seraya tersenyum. Jhihan pun berlalu pergi meninggalkannya yang kini tengah mematung.

Perkataan Jhihan terus melayang di pikirannya. Aranasya berjalan dengan gontai menyusuri lorong-lorong yang sepi.

Seorang lelaki tengah mematung di depan gerbang dengan pandangan terus tertuju pada Aranasya. Diperlihatkan dari jauh Aranasya berjalan dengan pikiran entah melayang kemana.

Lelaki itu pun mengangkat tangannya di udara dengan posisi mengesampingkan tangannya. Karena Aranasya tidak memperhatikan jalan di depannya, membuat keningnya terbentur dengan tangan seseorang yang ada di depannya.

Seketika Aranasya tersadar dari lamunannya. "Aw," ringis Aranasya seraya mengelus keningnya.

Aranasya mendongakkan kepalanya menatap pada orang yang ada di hadapannya. Ingin dirinya marah kepada lelaki itu, namun ia tidak berani. Jika saja bukan Dima yang ada di hadapannya, mungkin ia sudah memukulnya dengan keras.

"Lain kali kalau jalan pake mata," pesan Dima.

"Dasar muka tembok, dimana mana jalan itu pake kaki," gerutu Aranasya dalam hati.

"Kaki sama mata juga harus dipake, buat apa Tuhan nyiptain kalau gak digunain," cerca Dima.

Aranasya terkejut mendengarnya. Apa Dima mendengar isi hatinya? Pikirannya kacau kali ini.

Dima pun berlalu pergi mengambil motornya di parkiran lalu menaiki motornya, tak lupa ia memakai helmnya. Dima pun melajukan motornya ke depan.

"Naik!" perintah Dima.

Aranasya mendengus kesal padanya. Lagi-lagi Dima selalu memerintahnya. Aranasya pun menaiki motornya. Dan motor pun melaju membelah jalanan.

Gimana lanjut gak?
Jadi kalian di team mana nih?
Dira or Alra?

Nervous (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang