Firasat

313 63 9
                                    

“Manusia akan tetap salah dimata manusia."

Adima Daenandra Dzavier


Setiap tahun lebih tepatnya pada hari kematian Bundanya, keluarga Dima selalu mengadakan pengajian di rumah dengan mengundang anak-anak panti asuhan dan tetangga sekitarnya.

Suasana rumah kini sudah tertata rapih tinggal hanya menunggu tamu dan ustad datang. Dari tadi Dima disibukkan dengan kegiatan beres-beres rumah. Dima selalu memastikan bahwa rumahnya tidak ada debu sedikit pun.

Dima melihat Ayahnya yang kini tengah kesusahan saat mengangkat meja. Tanpa berpikir panjang Dima pun menghampirinya dengan tujuan untuk membantu Ayah. “Biar Dima yang angkat Ayah,” pinta Dima seraya memegang meja itu.

“Gak usah,” tolak Ayah.

Dima memaksakan seulas senyumnya. “Oya Yah, Pak Ustad biar Dima yang telepon aja ya,” ucap Dima seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

“Ayah gak butuh bantuan kamu,” ungkap Ayah.

Netranya kini mulai memanas. Dima berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Dima memaksakan seulas senyumannya seolah bersikap biasa tidak terjadi apa-apa.

“Gak seharusnya kamu ikut pengajian ini, dan seharusnya kamu sadar kenapa Bunda …” Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dima malah memotong ucapan Ayahnya.

“Cukup Yah,” sela Dima seraya mengangkat tangannya di udara. Dima menambahi, “Semua itu bukan sepenuhnya salah Dima, tapi sudah takdirnya Bunda,” ucap Dima.

“Seandainya saat itu kamu gak ngajak Bunda pergi, mungkin sekarang Bunda ada di sini,” bentak Ayah.

Dima berusaha melupakan kejadian itu. Namun, Ayah selalu saja mengingatkan tentang itu. Selama ini Dima selalu diam, tapi tidak untuk kali ini. Sudah cukup, karena ini sangat menyiksa bagi dirinya.

“Manusia akan tetap salah dimata manusia,” ungkap Dima seraya berlalu pergi. Saat hendak keluar, Dima dan Adrian berpapasan. Sontak yang membuat Dima terkejut, ketika Adrian datang tak seorang diri, melainkan bersama Aranasya.

“Dim, lo mau kemana?” tanya Adrian. Namun, yang ditanya malah meninggalkannya begitu saja.

Aranasya mulai bingung dengan perubahan sikap Dima saat ini. Terlihat dari raut wajahnya ada begitu kemarahan. Aranasya sangat takut jika terjadi apa-apa padanya disaat dalam keadaan marah.

Pengajian pun dimulai selama dua puluh menit. Setelah memastikan para tamu pulang, penghuni rumah pun langsung membereskan seisi rumah. Saat hendak Aranasya melewati kamar Dima, ia melihat kamarnya yang tidak terkunci. Seolah tersihir dengan isi kamar Dima, Aranasya pun masuk ke dalam.

Kamarnya indah dan tertata sangat rapih. Biasanya anak lelaki pada umunya terlihat berantakan, tapi tidak bagi Dima. Suatu hal yang membuatnya tidak percaya, ketika ia menemukan sebuah buku diary. Aranasya pun mengambil buku itu. Sudah ia bilang bahwa Dima sangat berbeda. Saat hendak mau membuka buku diary itu, tiba-tiba beberapa serpihan kertas berjatuhan ke bawah lantai.

Tanpa berpikir panjang Aranasya pun mengambil beberapa serpihan itu. Tak sengaja Aranasya membaca tulisan di kertas itu. Di kertas itu tertulis dear Dima. Aranasya tidak menyangka surat yang Dima robek pada saat itu, ternyata Dima menyimpannya. Kenapa Dima melakukan hal itu? Air matanya mengalir melintasi pipinya.

Aranasya kembali membuka buku diary milik Dima. Tiba-tiba ponselnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Aranasya kembali menutup buku diary itu. Aranasya mengambil ponsel dari saku celananya.

Terpampang dari layar ponsel panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tanpa berpikir panjang Aranasya pun mengangkat panggilannya.

"..."

"Hallo, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya?" tanya Aranasya.

"..."

Tubuh Aranasya mulai melemas seakan ia akan terjatuh. Air matanya kembali mengalir melintasi pipinya.

"Ara, lo dimana?" teriak Adrian melewati kamar Dima. Seketika langkahnya terhenti, ketika menyadari Aranasya ada di dalam sana.

"Ara, lo ngapain di sini?" tanya Adrian seraya masuk ke dalam.

Tak ada jawaban sama sekali dari Aranasya. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Adrian yang menyadari hal itu langsung menghampiri Aranasya.

"Ra, lo kenapa nangis?" tanya Adrian panik.

Aranasya menatap Adrian dengan lekat. Mulutnya ingin berkata. Namun, itu sangat sulit baginya. Sebuah kebenaran yang sangat menyakitkan baginya.

"Ada apa Ra?" tanya Adrian lagi.

"Di—dima," jawab Aranasya terbata-bata.







TBC

Tinggalkan jejak dengan cara vote dan ramaikan kolom komentar.
Terimakasih ❤

Nervous (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang