"Tugas selesai yaitu merelakan dia."
Adima Daenandra Dzavier
Kali ini Dima tidak ingin meluapkan emosinya dengan cara melukai diri sendiri. Kali ini ia hanya ingin sendirian di suatu tempat, dimana hanya ada ketenangan. Ya, kamarnya sendiri.Adrian mungkin saja menikmati malam minggunya dengan Aranasya. Sedangkan Dima sedang meratapi kesedihannya. Bagaimana tidak sedih? Ketika ia harus merelakan orang yang ia cintai demi sang kakak.
"Adrian dimana Dim?" tanya Ayah Dima.
Namun, Dima tidak menggubrisnya. Dima terus melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Ayah tanya sama kamu Dima!" bentak Ayah Dima.
Lagi-lagi telinganya seolah tuli. Dima masuk ke dalam kamarnya tanpa menghiraukan ucapan Ayahnya. Pintunya sengaja ia kunci agar tidak ada orang yang masuk ke dalam.
Dima menyandarkan tubuhnya di pintu. Sejenak ia memejamkan matanya. Air matanya berhasil melintasi pipinya. Begitu lemah dirinya ketika sedang sendirian.
Dima kembali berjalan menuju meja belajar. Di sana terdapat sebuah buku diary miliknya. Diambil buku diary itu, lalu ia kembali berjalan menuju balkon kamar.
Dima memejamkan matanya sejenak. Dima kembali mendongak menatap langit malam yang cerah, berbeda dengan suasana hatinya. Pandangannya beralih ke buku diary yang ia genggam.
Dima pun membuka buku diarynya. Banyak sekali curahan isi hatinya tertulis di buku itu. Jika lelaki pada umumnya tidak suka menulis di buku diary, berbeda dengan Dima yang mencurahkan segala perasaannya melalui tulisan. Setidaknya menulis adalah salah satu cara membuatnya tenang.
Dima membuka lembar di bagian tengah yang terselip sebuah pulpen dan secarik kertas yang terobek, dimana Dima diam-diam mengambilnya kala itu. Senyumnya berhasil mengembang dengan sempurna terukir di bibirnya.
Tulisan tangan yang sangat indah begitu juga rupa orang yang menulisnya. Ada satu alasan yang membuat Dima merobek surat itu di depan Aranasya. Karena ia tahu Adrian akan datang menujunya dan Dima tidak ingin Adrian terluka. Tanpa Dima sadari ada seseorang yang terluka di waktu bersamaan.
Dima membaca bagian lembar pertama. Di lembar pertama itu tertulis Dear Dima. Meskipun nama Dima sudah tercoret pulpen. Namun, Dima masih bisa membacanya dengan jelas. Dima tersenyum kala membacanya. Lalu Dima kembali membuka lembar kedua. Senyum yang semula mengembang dengan sempurna, kini perlahan memudar.
Aku senang bisa bertemu kamu. Apalagi bisa mengenal kamu lebih dalam, sampai pada akhirnya aku tahu suatu kebenaran yang justru melukai diriku.
Aku pikir kamu orang baik, tapi ternyata kamu belum cukup baik. Dari kamu aku belajar banyak hal.
Aku belajar artinya mencintai tanpa dicintai. Belajar artinya menanti walau itu tidak akan pernah terjadi. Dan satu hal yang terpenting. Berharap kepada seseorang, dimana harapan yang tumbuh justru melukai diri sendiri.
Seandainya aku tahu itu sejak awal. Seandainya aku tahu kamu tidak akan memberikan kepastian kepadaku. Mungkin aku tidak akan terlalu berharap kepadamu.
Sebelum aku memutuskan untuk melupakanmu. Aku cuma mau bilang ...
Terimakasih ya ...
Makasih telah hadir walau pada akhirnya kamu pergi.
Makasih atas kisah indah yang hanya sekedar singgah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nervous (Completed)
أدب المراهقين"Mencintai seseorang itu sama seperti daya dalam fisika, sama-sama membutuhkan waktu dan usaha." ~~~ Persamaan itu sama seperti ketika sedang menaklukan hati seseorang, dimana perlu waktu untuk mencintainya dan usaha untuk membuat hatinya luluh. Sos...