Safety Net | Part 3 - Mati Rasa

12.5K 1K 524
                                    

Jangan lupa vote dan komen yaaaaaaaaaaaaaaaaaa






So let's at least agree to go our separate ways

—Dua Lipa, We're Good











"MAMA dan Papa akan makan siang di Jimbaran. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil Uncle saja ya."

Dante mengamati Ibunya yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas. "Tenang saja, aku bukan anak kecil lagi," balasnya sambil mengangguk. Sore ini, dia memang akan kembali ke Jakarta menggunakan pesawat jet pribadi milik keluarganya.

"Baguslah kalau begitu."

Sepeninggal kedua orang tuanya, Dante diam-diam mengeluarkan iPad pemberian Ayahnya yang dia sembunyikan di balik bantal dan mengecek email terkait dengan pekerjaan. Wajahnya terlihat datar hingga ketika menemukan email dari Rena dengan subject 'Surat Resign', tatapan matanya terlihat seperti seseorang yang sedang menahan amarah.

"Apa dia serius ingin berhenti?" gumam Dante tidak percaya.

"Ya, saya serius."

  Entah sejak kapan Rena berdiri disana, Dante sama sekali tidak mendengar suara pintu terbuka. Berbeda dengan penampilan Rena yang selalu terkesan formal, sekarang gadis itu terlihat manis dengan balutan summer dress berwarna putih.

  "Sejak kapan kamu disana?" tanya Dante berbasa-basi.

"Baru saja," jawab Rena singkat. Kakinya melangkah mendekati Dante yang terbaring di kasur. "Anda pasti sedang membuka surat resign saya," tebaknya.

Dante refleks melirik ke arah layar iPad-nya, lalu menutup iPad itu dengan selimutnya. Sikapnya yang seperti anak kecil adalah salah satu dari sekian banyak hal yang tidak disukai Rena dari bosnya itu.

"Jadi, apa kamu sudah memiliki uang untuk membayar hutang? Sepertinya kamu percaya diri sekali ingin meninggalkan saya."

"Saya memang belum memiliki uang, tapi saya memiliki cinta untuk pria lain. Dia... bersedia untuk membayar berapapun hutang saya pada Anda," ujar Rena dengan mata menerawang, terlihat jelas bahwa gadis itu sedang memikirkan seseorang yang dia cintai.

"Sepertinya aku tahu siapa pria itu. Kalian berdua datang ke resepsi pernikahan Eros dan Laura, bukan?"

"Benar," Rena menghela napasnya. "Alarick itu teman masa kecilku. Dia juga pacar pertamaku, ciuman pertamaku, dan pria pertama yang bercinta denganku," jelasnya.

Secara refleks, Dante berusaha mengingat-ingat kapan dia melakukan seks untuk pertama kalinya. Oh, saat itu dia masih berusia 17 tahun dan melakukannya dengan Bu Silvi, guru Matematika-nya yang berusia 21 tahun. Tadinya Dante sama sekali tidak berminat untuk meniduri seorang perempuan yang lebih tua. Tapi karena Eros menantangnya, dia terpaksa melakukan itu.

"Saya juga masih mengingat jelas siapa perempuan pertama yang saya tiduri. Tapi saya tidak memiliki ambisi untuk menikahinya," balas Dante akhirnya, seakan apa yang dikatakan Rena adalah omong kosong.

  "Itu bukan ambisi," bantah Rena penuh emosi, namun kembali tersenyum manis demi menjunjung tinggi sikap sopannya pada Dante.

  "Tentu saja perasaanmu padanya sekarang merupakan ambisi. Dia kekasih pertamamu, dan kebetulan dia bisa membayar semua hutangmu. Karena kamu tidak ingin menikah dengan saya, kamu jadi berambisi untuk mengambil hatinya kembali," jelas Dante sabar, seakan berusaha memberikan pengertian pada tunangannya itu.

  "Sadar juga kalau saya tidak ingin menikah dengan Anda?"

  "Kamu selalu menolak saya." Dante membuang wajahnya ketika mengingat kembali penolakan demi penolakan yang gadis itu berikan kepadanya.

Safety NetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang