Cok, kabar yang dibawa Cak Ndut ini terus terang membuat pikiranku tak menentu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada sakit dan tidak ada tanda apapun, kedua orang tua sahabatku dipanggil Sang Pencipta. Aku gak bisa membayangkan bagaimana perasaan Joko, ketika mendengar kabar yang sangat – sangat membangssatkan ini. Aku saja sangat sedih sampai tidak bisa berpikir dengan jernih, apalagi Joko. Dia pasti sangat terpukul dan perasaannya akan benar – benar hancur lebur sekali. Bajingan.
Aku bingung harus berbuat apa dan aku gak tau harus bagaimana. Panggilan dari empat sekawan yang masih nongkrong diparkiran, pada saat aku membonceng Cak Ndut waktu kekosanku tadi, sampai tidak aku hiraukan.
Pikiranku semakin kalut ketika berhadapan dengan Joko. Aku tidak sampai hati untuk mengucapkan kabar ini dan tengorokanku tercekat melihat wajahnya itu. Bibirku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun dan akhirnya Cak Ndut yang mengabarkan berita duka itu.
Belum pernah aku seperti ini ketika menghadapi Joko. Aku yang biasanya tenang dan mampu mengendalikan diriku, sekarang tak mampu berbuat apa – apa. Apalagi ditambah dengan tatapan kesedihan yang teramat dalam dimatanya, membuatku semakin diam membisu.
Awalnya memang Joko tidak percaya mendengar kabar dari Cak Ndut, tapi setelah wajah Cak Ndut menunjukan kesedihan, akhirnya tangis Joko pecah juga.
Aku hanya bisa memeluk dan sedikit menenangkan Joko, walaupun aku tau itu tidak mungkin bisa membuat Joko tenang sepenuhnya.
Aku terus memeluknya dan mengajaknya untuk pulang kedesa. Perlahan Joko diam membisu dan membuatku semakin panik saja. Aku langsung meninggalkannya dan mempersiapkan keberangkatan kami ke desa, secepat mungkin.
"Kamu beneran naik kimba kedesamu Lang.?" Tanya Mas Candra yang baru datang dikosanku.
"Iya Mas. Aku harus segera membawa Joko balik kedesa." Jawabku sambil mengenakan switer pemberian adikku Lintang.
"Kenapa gak sekalian naik mobilnya Jago sih.?" Tanya Mas Candra.
"Terlalu lama nunggunya Mas." Jawabku.
"Iya sudahlah. Nanti aku, Cak Ndut dan Jago menyusul." Ucap Mas Candra.
"Iya Mas." Ucapku, lalu aku berjalan ke arah kamarku untuk berpamitan kepada Intan.
"Lang." Ucap Intan dan wajahnya terlihat sangat – sangat khawatir sekali, ketika aku membuka pintu kamarku.
"Aku pulang kedesa dulu ya Tan." Ucapku sambil menutup pintu kamarku dan mendekat ke arahnya.
Intan langsung memeluk tubuhku dan mengelus punggungku pelan.
"Tenangkan pikiranmu Yang. Jangan ikut panik dan larut dengan kesedihan. Aku tau kedua orang tua Joko, juga kau anggap orang tuamu sendiri. Tapi kamu harus tenang, karena hanya kamu yang bisa memenangkan Joko dalam situasi seperti ini." Ucap Intan sambil menatap wajahku dan merangkul tubuhku.
"Aku gak tau Tan. Aku gak tau bisa tenang atau tidak, dengan keadaan yang sangat menjancokan ini." Ucapku dengan suara yang bergetar.
"Kalau kamu tidak bisa menenangkan dirimu, siapa yang akan menenangkan Joko.? Dia terpukul Yang, sangat terpukul sekali. Dia butuh kau tenangkan, bukan butuh kepanikan dan kesedihanmu. Kamu sahabat dan saudara yang bisa mengerti Joko dalam kondisi apapun." Ucap Intan dengan lembutnya, sambil membelai pipiku.
"Dia membutuhkan dukungan dan ketenangan seorang Gilang Yang." Ucap Intan lagi, lalu.
CUUPPP.
Dia mengecup pipi kananku dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPIAN (TAMAT)
General FictionTidak ada yang namanya kesempatan kecil atau besar. Semua kesempatan itu sama saja dan semua tergantung dari diri kita masing - masing untuk mewujudkannya. Dan kesempatan untuk mencapai suatu tujuan, bukan hanya bagi mereka yang beruntung. Tapi juga...