BAGIAN 37 MEMULAI PERJALANAN

2.5K 84 31
                                    


"Mas Rendi. Sampean yang hari itu datang sama rombongan Mas Pandu, waktu kedua orang tua Mas Joko gak ada kan.?" Tanya adikku Damar ke Rendi.

"Emang kenapa Mar.?" Rendi bertanya balik.

"Rombongan sampean keren Mas. Apalagi semuanya pakai jaket merah yang ada tulisan "red custle" dipunggungnya, tambah kelihatan sangar." Ucap Damar dengan wajah yang terlihat kagum.

"Ah, biasa aja itu." Jawab Rendi dengan gayanya yang santai.

"Memangnya itu perkumpulan apa sih Mas.?" Tanya Damar lagi.

"Komunitas pencinta dangdut De." Sahutku.

"Bangsat. Hahahaha." Maki Rendi lalu tertawa.

"Sampean gak ikut perkumpulan itu Mas.?" Tanya Damar yang percaya dengan ucapanku.

"Masmu ini seleranya terlalu tinggi Mar." Rendi yang menjawab pertanyaan Damar.

"Tinggi rendahnya selera seseorang, bukan dirinya sendiri yang menilai, tapi orang orang lain. Dan untuk aku, aku gak perduli orang lain menilai aku seperti apa." Sahutku.

"Cok. serius banget sih jawabanmu." Ucap Rendi yang melirikku, sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya.

"Ini bahas apa sih sebenarnya.?" Tanya Damar dengan wajah yang kebingungan dan aku hanya tersenyum saja.

"Kopi, kopi." Ucap Lintang yang datang dari dalam rumah, sambil membawa nampan yang berisi dua gelas kopi.

"Wah, enak banget ini. Suasana pagi buta yang indah seperti ini, ditemani sama segelas kopi." Ucap Rendi dengan wajah yang sangat senang sekali.

Oh iya, di pagi buta ini, aku, Rendi dan Damar, sedang duduk dibalai – balai bambu diteras rumahku. Ibu dan Mery sedang sibuk didapur, sementara Bapakku lagi menyiapkan peralatan untuk kesawah.

"Mas Trisno sudah gak kuliah lagi ya Mas.?" Tanya Lintang, setelah meletakkan nampan di dekatku.

"Gak tau." Jawabku.

"Masa sampean gak tau Mas.? Sampean kan satu kampus." Ucap Lintang.

"Mahasiswa kampus teknik kita itu, jumlahnya ribuan De. Jadi gak mungkin aku memperhatikan satu persatu mahasiswa yang berkuliah atau tidak. Buang – buang waktu." Jawabku lalu aku menyeruput kopi panas ini.

Sruuppppp.

"Ahhhhhh." Ucapku sambil meletakan gelas kopiku dinampan lagi.

"Mas Gilang itu bukannya gak tau, tapi malas tau. Mana mau Mas Gilang ngurusin si ndowe (Mulut yang suka menganga.) itu." Sahut Damar.

"Damar. Gak boleh nyebut nama Trisno dengan sebutan itu." Ucapku dengan mata yang sedikit melotot.

"Hahaha. Kelihatannya Damar punya dendam pribadi sama si ndowe Lang." Ucap Rendi yang ikut – ikutan menyebut Trisno, dengan sebutan si ndowe.

"Hehehe." Damar pun hanya tertawa saja.

"Kamu kenapa ikut – ikutan nyebut Trisno dengan panggilan si ndowe Ren.? Jangan – jangan kamu yang punya dendam sama dia.?" Tanyaku ke Rendi.

"Enggak, aku gak punya masalah sama anak itu. Cuman kalau aku lihat bibirnya yang ndowe itu, rasanya pengen kutinju aja. Hehehe." Ucap Rendi lalu tertawa.

"Iya Mas, Damar juga seperti itu. Hahaha." Sahut Damar lalu dia ikut tertawa.

"Iiiihhh. Kok ngomongnya gitu sih.? Lintang kedapur aja kalau gitu." Ucap Lintang.

IMPIAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang