BAGIAN 22 MANUSIA MISTERIUS

1.8K 66 17
                                    


Kembali menjalani rutinitas seperti awal kuliah, menjadi kegiatanku sekarang ini. Makan, tidur, kuliah, mengamen, dan mengerjakan tugas. Sedangkan kesibukan mengerjakan laporan proyek kantor dan kelapangan, hanya menjadi kenangan dan kujadikan renungan beberapa bulan terakhir ini.

Aku mencoba ikhlas dengan apa yang aku alami saat ini. Karena kalau boleh jujur, dari dalam hati yang terdalam aku masih belum bisa menerima keputusan pemecatanku. Sesabar – sabarnya aku, aku juga punya rasa jengkel dan dongkol. Aku manusia dan aku tidak sesempurna yang dibayangkan orang terdekatku selama ini. Tapi sudahlah, kalau aku mengikuti sifat burukku itu, semua permasalahan yang aku hadapi akan semakin melebar dan tidak akan terselesaikan.

Untuk saat ini lebih baik aku berkonsentrasi dengan kuliahku, sambil mencari jalan lain untuk menyelesaikan masalah Intan.

Hiufftt, huuu.

"Piye cok.?" (Gimana cok.?) Tanya Joko ketika kami berdua sedang beristirahat disebuah emperan toko.

Oh iya, siang ini aku dan Joko sedang mengamen karena kami berdua tidak ada jadwal kuliah.

"Piye opone.?" (Gimana apanya.?) Tanyaku balik, lalu aku menghisap rokokku.

"Moso awak dewe ngene – ngene ae terus.?" (Masa kita begini – begini aja terus.?) Ucap Joko dengan wajah yang sangat serius sekali.

"Maksudmu iku opo seh.? Ojo mbulet ngono ta lek ngomong." (Maksudmu itu apa sih.? Jangan berputar – putar begitulah kalau ngomong.)

"Asuuig. Je' ngomong pisan ae diarani mbulet." (Anjingg. Baru ngomong sekali aja dibilang berputar – putar.) Gerutu Joko.

"Yo terus maksudmu iku opo.?" (Ya maksudmu itu apa.?) Tanyaku dan sekarang nadaku juga aku buat serius.

Joko menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

"Awak dewe gak nggolek kerjoan liane ta.? Lek ngandalno ngamen tok, abot cok." (Kita gak cari kerjaan lainnya kah.? Kalau mengandalkan mengamen aja, berat cok.) Ucap Joko, lalu dia membakar rokoknya.

Aku terdiam mendengar ucapan Joko ini, karena apa yang diucapkannya memang benar sekali. Uang simpanan kami untuk pembayaran dua semester kedepan, sudah banyak terpakai untuk pendaftaran praktikum, kebutuhan tugas – tugas besar, serta keperluan kuliah lainnya.

Uang dari hasil mengamen kami, hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari saja. Jujur, hasil yang kami dapatkan ketika mengamen sangat sedikit sekali, karena waktu mengamen kami tidak banyak. Kuliah, mengerjakan tugas, dan beberapa praktikum, sangat menguras banyak waktu. Jadi bagaimana kami akan mendapatkan hasil yang maksimal.? Kalau seandainya saja kami masih bekerja dikantor Pak Danang, masalah seperti ini mudah sekali diatasi.

Hiuufftt, huuu.

Ternyata mencari biaya kuliah itu, gak semudah yang aku pikirkan selama ini. Aku kira hanya dengan bermodalkan gitar atau biola dan juga gendang, masalah biaya akan mudah diatasi. Tapi ternyata salah besar. Masalah biaya bukan hanya sulit, tapi juga sangat memberatkan sekali.

Apa aku akan menyerah.? Gila aja. Aku sudah hampir setengah jalan dan aku akan menyerah begitu saja.? Gak mungkin lah.

Terus apa yang harus aku lakukan saat ini dan rencana apa yang akan aku jalankan untuk beberapa bulan kedepan.? Itu dia masalahnya. Aku tidak bisa berpikir dan pikiranku benar – benar sudah mentok. Entah kenapa bisa seperti ini. Aku yang biasa tenang menghadapi suatu permasalahan, sekarang malah bingung sendiri dan gak tau harus berbuat apa. Bajingan.

"Opo awak dewe ngamen ndek cafene Mas Kelvin ae.?" (Apa kita ngamen di Cafenya Mas Kelvin aja.?) Tiba – tiba Joko bersuara dan mengejutkanku dari lamunan.

IMPIAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang