22

1.2K 230 94
                                    

"Taufan..., Gua punya satu perintah lagi. Bagaimana... Kalo mereka bertiga yang harusnya berada di sisi kita... Lo bunuh memakai shotgun ini?" Perintah Liana.

Jarum panjang bergerak kencang daripada sebelumnya, Taufan menimbang-nimbang pilihannya atau pilihan orang lain. Pemuda yang selalu diperlakukan sebagai boneka itu mengambil shotgun tanpa keraguan, Liana tersenyum puas sebab inilah yang ia harapkan.

"Taufan, jangan mau dipengaruhi olehnya." Ujar Gempa, mimik wajahnya menampilkan perasaan panik dan kecewa.

'Graakkk'

Shotgun itu dilempar ke sembarang arah tanpa sebab, Gempa, Glacier dan Halilintar bernafas lega.

"Seharusnya lo turutin--"

"Untuk apa? Lo itu pembohong besar! Buktinya Gempa dan Halilintar ada di depan mata gua saat ini!" Taufan menggertak, tidak biasanya ia menunjukkan sifat pemarahnya.

Liana terkekeh. "Kalo gua bohong, emangnya kenapa?! Lo senang gitu ketika mereka hidup? Merasa ada harapan untuk menyelamatkan semua orang di tanah air ini? Gak bisa, Taufan... Lo gak bakal bisa! Karena ini semua kesalahan lo!"

Bukannya membentak Liana lebih keras lagi, Taufan tersenyum lembut. "Jika ini kesalahan gua, tidak apa-apa. Gua bisa perbaiki ini sendiri... Asalkan sahabat yang selama ini gua anggap tidak ada, sekarang... Masih hidup bahkan selamat... Dan gua bersyukur oleh itu."

Kehabisan kata-kata perempuan itu tidak melontarkan ucapan lagi, ia menundukkan kepalanya merasa salah memilih orang untuk dipercayai atau ia yang salah karena terlalu egois.

"Lo... Gak boleh berpindah pihak, Taufan. Tetap... Di pihak gua... Atau lo terima akibatnya." Gumam Liana.

Sebuah pisau belati muncul dari balik kantung celana milik Liana, kesempatan untuk melukai Taufan yang berada di jangkauannya.

Tentu saja Taufan sendiri tidak menyadarinya secepat itu sehingga Liana mengayunkan pisaunya tepat mengarah jantung pemuda itu.

'Tapp'

Laki-laki dengan mata setajam silet, menangkap tangan Liana yang diayunkan ke arah Taufan.

"Liana Anggraini, lo pasti belum pernah mengenali diri gua secara menyeluruh."

"Hahaha, Halilintar bukan? Gua kenal kok." Jawab Liana.

Halilintar mendekatkan mukanya sembari menatap tajam perempuan keji itu. "Kalau begitu menyingkir dari pandangan gua."

Liana tersenyum. "Bagaimana jika jawabannya tidak?"

Walau tangan ditahan oleh seorang pemuda jago beladiri, Liana tetap bisa menggunakan kakinya untuk menjauhkan Halilintar dari dirinya.

Refleks, Halilintar memundurkan tubuhnya agar tendangan perempuan itu tidak membuatnya kehilangan fokus lalu membalas balik dengan mencengkram tangan Liana sekali lagi dan menguncinya di balik punggung miliknya sendiri.

"Argghh!" Rintih Liana saat tangannya diputar ke belakang punggung supaya tidak memberontak kembali.

"Ck! Lepaskan gua! Dasar lelaki... Argghh!"

"Dia perempuan, Hali. Bukankah menarik tangannya ke belakang, itu termasuk kejam?" Taufan tidak tegaan.

(Tidak tega? Dia itu udah tega sama kamu, Upan sayang :v)

"Tidak. Ini belum terlalu kejam." Halilintar, pemuda berhati dingin.

Keuntungan berpihak kepada Taufan sebab sahabatnya kembali, terbukti fakta, valid no debat.

Tetapi ada sesuatu yang kurang, kemana semua orang yang seharusnya ada sejak chapter ini berlanjut?

Kepala Taufan menoleh ke belakang, melihat beberapa orang terdiam, tidak mau mengganggu sesi Halilintar dan Taufan melawan Liana.

RUN 2 [Boboiboy] [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang