47

420 90 18
                                    

Hancur berantakan.

Rencana Gempa yang tersusun rapi pada akhirnya tidak akan berakhir dengan sempurna.

Ingin marah namun situasinya sangat tidak memungkinkan, kedua alisnya semakin mengerut sesaat melihat populasi zombie-zombie yang berada di depannya.

"Pergi duluan, Gem. Lo bawa Taufan ke tempat aman." Ucap Halilintar sembari maju selangkah ke depan dan bersiaga untuk menyerang.

Lagi-lagi Gempa tidak mengerti pemikiran Halilintar, walau sempat berbalik tetapi ia tidak tega meninggalkan sahabatnya itu menghadapi semua hambatan yang terjadi.

"Nggak. Kenapa lo tiba-tiba ngatur rencananya gini sih?"

Halilintar menolehkan kepalanya, manis senyuman tipisnya membuat Gempa mau tidak mau harus mendengar perkataan darinya.

Kepalan tangan Halilintar memukul bahu Gempa pelan, "Maaf, ya, gua sengaja."

Punggung Halilintar yang terlihat sedang memikul beban itu perlahan-lahan menjauh ke depan barisan.

"Gempa. Sebenarnya gua sedikit muak melakukan hal-hal yang lo mau, apalagi melukai sesama manusia demi diri lo. Di sini, gua dan semua orang yang tersisa mencoba bertahan hidup sampai detik ini.

Gua tahu lo kecewa karena rencana tersebut kacau seketika. Hahh... Tenang saja... Gua bakal tanggung konsekuensinya."

Kata-kata Halilintar

Tapak kaki Halilintar semakin menjauh setelah berhenti dan berbicara sejenak.

Tatapannya kini menajam memandang zombie-zombie yang sudah sangat gila akan kelaparan.

"Mengotori tangan. Itu keahlian gua. Sejak sekolah menengah yang membunuh zombie pertama kali yaitu gua, yang memancing zombie kesana-kemari dan yang membuat perempuan brengsek itu mati termasuk gua juga...

Darah manusia tidak berhenti mengalir mengarah ke diri gua. Gempa... Setidaknya lo masih menginginkan kehidupan, gua berjanji bakal mengabulkan permintaan itu."

Gumam Halilintar. Sopan tercengang sedikit sambil menutupi ekspresinya di balik kipasnya, entah mengapa ia sangat menyukai kata-kata yang terucapkan oleh Halilintar.

"Biasa aja, deh. Gua tahu kalau lo terpukau dengan om-om itu 'kan?" Gentar berbicara sok asyik.

Sopan memukul wajah Gentar melalui kipas tangan andalannya, "Anda benar-benar tidak tahu tempat untuk membiarkan saya merasakan ketenangan ya?"

Gentar merinding, bulu kuduknya berdiri sendiri.

"Jadi, lo pengen sama om-om?!" Gentar terheran-heran.

Senyuman ramah nan lembut milik Sopan seketika itu luntur, "Hah?! Anda itu tidak waras ya?! Sejak kapan seorang laki-laki me-me-me-- Ah! Pokoknya Anda harus berhenti bicara, menjijikan!"

Mulut Gentar tiba-tiba berhenti jika saja Lunar tidak melemparkan sebuah batu kecil kepadanya.

Tatapan penuh kecaman dari Lunar mengharuskan Gentar merinding untuk kedua kalinya.

"Se-sebaiknya kita bantu Kak Lunar! Siap bertarung, Sopan." Gentar pun bergegas lari memposisikan dirinya mendekat zombie sebab senjatanya termasuk serangan jarak dekat.

"Cepat, bantu gua, Sopan!" Seru Gentar.

Pisau lempar berukuran mungil tersembunyi dibalik kipas tangan Sopan terpegang sangat terampil.

Mungkin itu bukanlah senjata yang begitu ampuh untuk menjatuhkan zombie akan tetapi Sopan itu berbeda.

Sebab ia sangat pintar dalam menghafal apalagi kalau persoalannya tentang titik vital manusia.

RUN 2 [Boboiboy] [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang