"Hebat banget lo!" Aera menampar wajah lelaki itu berkali-kali.
"Kalo mau bunuh gue, seenggaknya biarin gue ketemu orang tua kandung dulu."
"Gak usah egois, Na! Jeno hampir mati gara-gara lo! Dan sekarang lo justru mikirin diri sendiri?!" bentak Aera yang sudah terkalut emosi.
Jaemin terjatuh ketika Aera menendang perutnya, jatuh tepat di atas darah Jeno. Dia tidak menangis, dia juga tidak bisa berfikir jernih, otaknya sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
"Ra, gue juga gak pengen lakuin kaya gitu. Andai aja lo tau posisi gue bagaimana," ujar Jaemin dengan lemah.
"Kenapa? Hidup sama orang tua angkat? Bahkan Jeno juga ngalamin itu! Sakit? Ya harusnya lo sadar apa yang terjadi sama Jeno gak kalah sakit sama yang lo alami!" bantah Aera tak mau kalah.
"Dan ini yang lo lakuin ke orang baik kaya Jeno? BUKA MATA LO! Lihat Jeno yang entah mati atau hidup! Lo itu—" Aera tak mampu melanjutkan kalimatnya, dia sama sekali tidak bisa membayangkan jika Jeno benar-benar pergi.
Gadis itu tergeletak lemah, dadanya tiba-tiba sesak seolah ada hal yang sama sekali tidak dia inginkan. Chanyeol segera mengangkat Aera dan membawanya keluar, gadis itu bisa menolak, bahkan untuk sekedar berbicara saja rasanya sangat sulit.
"Na, kamu kok jahat? Emang Jeno salah apa sama kamu?" tanya Jisung dengan suara gemetar.
"Kalo sampai Jeno pergi gimana? Kamu tega liat Jeno sendirian di bawah tanah?"
"Lihat, darah Jeno sampai kemana-mana gini! Kamu gak kasian? Semua orang butuhin Jeno, bahkan Jeno yang berkali-kali donorin darah waktu kamu sakit. Kamu kok bisa kepikiran mau bunuh dia?" tanya Jisung lagi.
"Apa kamu gak sedih kalo Jeno pergi?" teriak Jisung yang bercampur dengan tangis.
"Aku tau kamu depresi, tapi apa baik kalo sampai bikin orang lain hampir mati? Jeno orang baik, Na! Tapi ada aja orang jahat yang nyakitin dia, dan orang itu kamu diantaranya."
Jaemin hanya diam, dia paham dengan ucapan Jisung, namun dia tidak bisa menjawab satu katapun. Jaemin menatap ke bawah, dia dapat melihat remang-remang cairan warna merah pekat. Ingatan itu kembali, dimana dirinya dengan gemetar menekan pistol dan membiarkan peluru mematikan itu mengenai tubuh Jeno tepat saat Jeno hendak menyebut namanya. Jaemin teringat, saat itu tangannya gemetar, dan pistol itu salah sasaran sehingga tidak mengenai kepala Jeno.
"Jeno?! Dimana dia?! Dimana Jeno?!" tanya Jaemin dengan air mata yang tiba-tiba jatuh.
"Kenapa kamu nangisin dia? Harusnya kamu tangisin diri sendiri kenapa bisa berbuat seperti itu," ucap Jisung.
Jaemin bangkit, lelaki itu berlari keluar dengan pakaiannya yang terkena darah milik Jeno. Setelah kejadian itu memang Jaemin tidak pergi dari gudang tersebut. Bagaimana ingin pergi jika tubuhnya seakan kaku dan ingatannya yang tiba-tiba menghilang. Dia baru tersadar ketika Aera menamparnya.
Lelaki itu berlari tanpa memperdulikan tatapan aneh dari orang-orang yang tengah berada di Rumah Sakit. Beberapa security sempat melarangnya karena memang keluarga Jeno tak ingin dirinya memasuki Rumah Sakit itu. Namun seorang laki-laki yang entah dia siapa tiba-tiba mengijinkan Jaemin untuk masuk.
~~
Bahkan sampai pagi hari tak ada satupun keluarga Jeno yang membiarkan Jaemin untuk menjenguknya. Bukan karena mereka dendam kepada Jaemin, karena mereka tau apa yang terjadi. Semua rahasia dan hal-hal penting Keluarga Lee semua ada pada orang kepercayaannya yaitu Mr.Taeil.
Jaemin sama sekali tak ingin kembali sebelum melihat keadaan Jeno, lelaki itu masih terduduk di lantai dan bersandar pada tembok. Jaemin menangis, namun tak ada satupun yang peduli padanya. Dia adalah korban, namun dia juga pelaku.
"Ngapain disitu? Belum puas dengan apa yang lo lakuin?!" tanya Renjun dengan ketus.
"Jaemin, bangun! Jangan duduk disitu nanti sakit!" ujar Mr.Taeil dengan lemah lembut.
Jaemin hanya menggeleng, dia masih berada pada niat awalnya. Mr.Taeil meringis melihat kondisi Jaemin saat ini. Pipinya memerah, mungkin karena tamparan Aera. Tak hanya itu, banyak luka dan lebam yang entah darimana. Jika Jaemin menyakiti dirinya sendiri sepertinya tak mungkin.
Jisung menatap dari kejauhan, ada rasa kasihan melihat sahabatnya yang seakan tak memiliki semangat hidup. Namun Jeno lebih dari itu, bahkan entah masih memiliki kesempatan hidup atau tidak. Dari semalam sama sekali tidak ada yang tertidur kecuali Taeyong, lelaki itu dengan nyenyak nya tidur di kursi kantin.
"Biarkan dia masuk!" kata Ayah Jeno dengan datar.
"Ayah! Gimana kalo dia cabut selang Jeno?! Enggak! Dia gak boleh!" sahut Aera.
"Kamu temenin di dalem."
Ingin rasanya Aera memprotes dan mengusir Jaemin jauh-jauh. Namun melihat raut wajah Mr.Taeil membuatnya mengurungkan niat, Aera paham pasti Mr.Taeil mengetahui hal di balik itu. Bagaimanapun juga, Ayahnya sudah berkata demikian, maka hanya akan sia-sia sejauh apapun Aera memprotes.
Jaemin berjalan pelan, menatap seseorang yang tengah terbaring lemah karenanya. Detak jantung lelaki itu semakin lemah, tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi jika semua alat bantu di tubuhnya itu di lepas. Jaemin berandai jika dia tidak melakukan itu, mungkin sahabatnya tidak akan seperti ini, namun dirinya sendiri yang akan menggantikan posisi Jeno.
"Jeno... Bangun ya..." Jaemin memegang tangan yang memucat itu.
"Na...."
Aera ikut mendekat, menatap mata indah Jeno yang perlahan terbuka. Gadis itu menangis tak kala melihat mata Jeno yang sama sekali tak menatap Jaemin dengan dendam.
"Aku gapapa," ucap Jeno dengan lemah namun Aera menggelengkan kepalanya supaya Jeno tidak terlalu memaksakan diri untuk berbicara.
Jeno berkedip lemah, tersirat senyum tulus di balik kedipan itu.
"Nana orang baik, tapi kok gak minta maaf sama aku?"
"Ayo, Na... Aku maafin kok," kata Jeno pelan dan mulai melemah.
Jaemin hanya diam, bibirnya kaku tak bisa berucap apapun. Dia bisa mendengar ucapan Jeno, dia juga sempat berfikir sebaik itukah Jeno? Namun entah apa yang membuatnya sulit untuk sekedar meminta maaf.
"Bunda...."
Aera merasakan jantungnya berdegup kencang, ini bukan perasaan jatuh cinta, namun ketakutan. Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya tak mampu melihat Jeno yang kesakitan.
"Kalian keluar dulu!" ucap sang dokter.
"Bunda...."
Dokter dan perawat itu menghentikan aktifitasnya, membiarkan Jeno untuk mengucapkan sesuatu.
"Jeno gak mau pergi, aku sayang kalian."
Lelaki itu tersenyum, senyum palsu yang tak pernah ada dalam hidupnya. Jeno masih menginginkan bersama mereka, dia tersenyum hanya untuk meyakinkan jika dia baik-baik saja, meskipun ada rasa sakit yang semakin lama semakin terasa.
"Kalian keluar!" perintah sang dokter sekali lagi.
"Jeno!" teriak Aera namun Chanyeol menariknya untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Smile | Lee Jeno
Fanfiction"Aku menyukai senyum Lee Jeno, sangat tulus sampai matanya ikut tersenyum." Tentang Lee Jeno dan sebuah ketulusan. •Teori/teka-teki •Kebengekan •Cerita lebih dominan tentang mental seseorang daripada percintaan •Mengandung bawang