[ Completed ]
Hanya sepenggal cerita tentang bagaimana si berandal Danuar memuja sahabatnya sendiri, sosok Jennie yang begitu berharga baginya.
Cintanya.
Gadisnya.
Pancaronanya.
Hingga semakin hari semakin bersinar bersama pemuda, yang bukan dirinya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Halaman kosong. Aku tak miliki niat apapun tuk menulis tentangmu."
Tertanda, Danuar.
•••
Langit cerah menjadi latar. Hembus angin masih terasa begitu baru pun embun menghias di jajaran telapak daun. Hiruk piruk begitu konstan—tak begitu banyak kendaraan, entah mengapa. Fakta tersebut membuat keduanya larut dalam kuluman senyum.
Hingga, tiba kala mobil hitam mengkilat dengan ban yang cukup besar itu sampai di parkiran universitas. Kendaraan yang keberadaannya saja sanggup buat stigma manusia tentang seberapa mahal harga kuda mesin milik seorang Jeongguk Bagaskara.
Hubungan mereka?
Rasanya sudah menjadi konsumsi publik di detik pertama Jeongguk menjawab tentang kebenaran rumor hubungannya dengan Jennie. Meski hati kian timbul risih sebab eksistensinya kini termasuk dalam laman utama sohor pembicaraan mahasiswa, Jennie agaknya paham bila inilah risikonya. Menerima seorang pemuda yang memang sejak awal begitu digilai banyak kaum hawa, pemuda yang presensinya tinggi di antara sekian banyak mahasiswa berprestasi—Jennie mencoba menerima segalanya.
Membuat setiap perubahan itu menjadi kesehariannya yang nyata.
"Itu ponsel kamu, ya?" Itu suara Jennie, kala Jeongguk baru saja mematikan mesin mobilnya namun dering ponsel pemuda itu tiba-tiba berdering penuh.
Jeongguk menaikkan kedua alisnya. Segera ia merongoh saku celananya dan maniknya merekam nama kontak yang rasanya sudah lama sekali tak menghubunginya.
Satu bulan? Atau bahkan dua bulan? Jeongguk tak tahu pasti.
"Iya, ponselku."
"Siapa?"
Lantas Jeongguk menoleh, menggengam erat ponsel miliknya, "Keluarga. Btw, Jen. Boleh kamu turun duluan? Kayaknya ada hal penting sampai aku ditelfon gini. Aku nggak bisa turun sekarang."