[26] Tidak Menyesal

1.3K 314 111
                                    

Warn :
1700+ Words

Happy reading!

•••

"Bahkan jika rembulan bertutur jujur padamu, mungkin kau tetap tak akan mempercayainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bahkan jika rembulan bertutur jujur padamu, mungkin kau tetap tak akan mempercayainya. Karena realitanya, kau sudah masuk dalam dunia dongeng yang dia buat untukmu."

Tertanda, Danuar.

•••

Pada akhirnya, kekhawatiran sirna jua. Kerutan halus di kening pun kelopak mata yang sedikit membengkak—perlahan terganti dengan helaan napas lega. Oksigen seolah kembali merasuk paru-parunya normal. Membuahkan desir hangat yang tadinya begitu panas berkecamuk.

Ya.

Bunda tidak perlu menginap. Nyatanya kala malam menjemput, keadaan Bunda sudah kembali segar. Sudah lebih baik setelah mendapatkan perawatan dokter. Sudah bisa tersenyum bahkan tertawa akibat lelucon anak sulungnya.

"Kayaknya emang Bunda kangen Abang banget sih, ya. Iya, deh, iya ... mulai hari ini Abang tinggal di rumah aja nggak di kost."

"Dih. Pede banget," Jennie menyeletuk.

Satu orang lagi, kini tengah bersandar di dinding rumah sakit, tersenyum tipis melihat interaksi lucu di depan matanya. Ia juga membolos kelas, omong-omong. Beberapa kali sudah Seokjin sarankan tuk langsung pergi setelah mengantar namun pemuda dengan nama punggung Danuar itu tetap keukeuh.

Bagi Taehyung, Bunda adalah orang tua ke duanya. Tempat di mana Taehyung temukan kasih Ibu yang sulit ia temukan dalam pandangan mata sejak tiga tahun lalu. Taehyung menyayangi Amma di kampung halamannya, tentu saja. Namun jika keadaan Bunda seperti ini; di genggamannya, seolah diberi tanggung jawab yang tak kasat mata. Setidaknya, sedikit, ia bisa merasa berguna tuk manusia terlampau baik seperti Bunda.

"Taehyung? Kamu juga nggak kuliah hari ini, Nak?"

Mendengar namanya dipanggil, Taehyung lantas menegakkan badannya. Melangkah menghampiri Bunda—berdiri di sebelah Seokjin, "Enggak, Bun."

"Karena anter Bunda?"

"Enggak juga, sih. Emang mau bolos aja. Males ketemu dosen killer."

Bunda menghela napas, mencubit lengan pemuda Danuar main-main, "Omongannya."

"Haha, bercandaaa, Bunda. Hari ini aku cuma ada satu mapel, kok. Ya karena tadi udah telat, aku nggak mungkin masuk tiba-tiba."

"Maaf ya, jadi repotin kalian gini. Orang tua emang suka ane—"

Lantas, Jennie bersinggut tuk memeluk Sinta. Menggeleng ribut dengan mulut mengerucut, "Enggak, hiii. Kesehatan Bunda tuh lebih-lebih penting buatku, tahu."

PANCARONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang