"Malam itu kopi hitam seolah malfungsi bagiku. Benar—semuanya terasa asing kala memikirkanmu berbahagia bersama yang bukan aku."
Tertanda, Danuar.
•••
Malam itu kembali sepi. Keheningan yang dirasa sejak senja tadi, semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya ia membawa Vante keliling kota, setidaknya untuk menenangkan kepala, terurung. Langit tiada henti merajuk. Masih betah membasahkan beberapa bagian bumi hingga terkadang, petir ikut wara-wiri.
Taehyung jadi penasaran, dimana dan bagaimana keadaan Jennie kini. Hal yang seharusnya tidak perlu Taehyung cemaskan sebab tanpa diminta, tentu, Jeongguk akan lebih sanggup menjaga Jennie dengan sejumlah fasilitas yang pemuda itu punya.
Bego.
Mereka mah pasti lagi seneng-seneng.
Maka ketika tidak ada alasan lagi baginya untuk merasa cemas, pemuda itu membuka pintu kos pelan.
"Bang, punya stok kopi, nggak? Habis punya gue."
"Muka benerin dulu. Lo minta apa ngajak berantem?" Itu Jin Artanandra Utama. Baru saja membuka pintu setelah mendapat ketukan malas dari luar kamar.
Si Sulung yang satu darah dengan Jennie; Kakak gadis itu. Lelaki yang entah bagaimana, sejak awal kedatangan Taehyung sudah memilih tinggal di deretan kamar kos, bukan di rumah orang tuanya yang berada di halaman depan.
"Ck. Lagi males berantem, gue mau ngopi."
"Ya, lo beli di luarlah?"
"Males."
"Jahanam banget. Tuh, ambil sendiri ke dapur."
Dan Taehyung dengan tampang datarnya lantas masuk setelah dihadiahi satu tendangan kaki pelan dari Seokjin yang pemuda itu abaikan. Seokjin sendiri menghela napas pelan, terlampau hapal bagaimana sifat si pemuda rantau yang terkadang, bisa menjadi dingin luarbiasa.
"Itu ada tiga bungkus lo bawa aja semuanya. Besok gue mau ngisi lagi." Seokjin masuk dan melihat Taehyung yang menenteng sebungkus kopi.
"Oh, boleh?"
"Iya, boleh."
Dan Taehyung dengan senang hati membawanya. Tersenyum tipis kala kembali berhadapan lagi dengan Seokjin. "Makasih."
Hendak melangkah pergi, namun tangannya dicekal oleh pemuda yang lebih tua.
"Apaan?"
"Jennie jalan lagi sama Jeongguk?"
Apa? Mengapa Seokjin tiba-tiba meraih topik yang seperti ini?
"Iya. Baru tadi sore? Kenapa?"
Dan yang Taehyung dapati hanya Seokjin yang terkekeh. Melepaskan cekalan tangannya sebelum bersikedap dada. Menatap Taehyung dari atas hingga bawah yang rasanya, semakin membuat Taehyung bingung. Maniknya berpendar ikut melihat tubuhnya sendiri.
"Apaan sih? Kenapa juga liatin gue begitu? Anjing. Risih, astaga. Lo cowok, bego. Liatin gue begitu amat, Bang, dih!"
Telak.
Seokjin menjitak kening Taehyung hingga mendapatkan umpatan kasar yang menjadi kebiasaan pemuda itu.
"Aduh, aduh, berandal cupu. Bilang cemburu aja susah banget?"
"Hah?"
"Lo kira ... gue nggak tahu? Habis Jennie pergi lo ngebanting pintu kamar? Duh, klise. Cinta dalam diam, nih, ceritanya?"
Setelahnya, hanya Taehyung yang diam melongo. Jemarinya reflek meremas erat bungkusan kopi instan baru kemudian menatap Seokjin remeh.
"Ngaco. Lo nggak tahu apa-apa, Bang. Sembarangan."
"Gue nggak bisa bantu lo karena Jennie juga keliatan sayang Jeongguk, Tae." Sebab Seokjin tidak ingin menjadi munafik dan melupakan bagaimana senyum adiknya kala bersama Jeongguk.
"Tapi kalau gue bisa pun—gue lebih setuju lo yang ada disana bareng adek gue malem ini. Berapa lama lo nyimpen? Sebulan? Setahun? Jangan bilang tiga tahun?"
"Omonganlo makin ngelantur. Efek udah malem kali ya?"
"Tae dengerin gue—"
"Udah malem. Gue sama adek lo itu sahabatan."
"Naif banget?"
"Naif soal apa lagi, tolol!?"
Dan Seokjin tidak akan pernah terkejut ketika Taehyung yang lantas keluar tanpa sepatah kata dari kamarnya. Dengan jelas, Seokjin mendengar hantaman pintu yang lumayan kasar dari kamar di sampingnya.
Terkekeh, sedikit-banyak merasa iba. Namun Seokjin juga tidak bisa berbuat apa-apa terlebih masuk dalam wilayah teritori adiknya sendiri.
"Karena kalau lo yang bawa Jennie, gue ngerasa dia aman, Tae."
Sedangkan Taehyung di dalam kosnya hanya membisu dalam diam. Menuangkan termos air panas yang ia miliki ke dalam cangkir biru tua. Menghasilkan cairan hitam pekat yang dikebuli asap sebab sebelumnya sudah menuang bubuk kopi. Mengambil tiga balok gula, sedikit menyecap rasanya dengan sendok.
Manis.
Namun, mengapa—hambar mendominasi?
Persis seperti sebuah ruang dalam dadanya, yang mendadak kosong nan sunyi; sebab pemiliknya kini pergi. Meninggalkan kosakata tanpa bunyi yang hanya bisa ia ucap dalam menolog hati.
Jennie, kapan gue bisa berhenti naif?
•••
A/N
Update kedua minggu ini😬 Semogaa suka, jangan lupa ramaikan votes dan kolom komentar!
Yang suka kopi hitam yuk acung tangan! Atau malah anti?:)
Pancarona, taecax!💜
KAMU SEDANG MEMBACA
PANCARONA
Fanfiction[ Completed ] Hanya sepenggal cerita tentang bagaimana si berandal Danuar memuja sahabatnya sendiri, sosok Jennie yang begitu berharga baginya. Cintanya. Gadisnya. Pancaronanya. Hingga semakin hari semakin bersinar bersama pemuda, yang bukan dirinya...