🌱 20. Perihal rasa sakit

493 45 1
                                    

Selamat membaca.

___

"Kok Mama nggak bilang mau ke luar kota, sih?" Keira duduk di depan ruang rawat Kenan, dia masih mendengarkan perkataan mamanya di seberang sana lewat telepon.

Rasa kesalnya meningkat kala mendengar kalau sang mama keluar kota tanpa memberi tahu dirinya. Pantas saja dia tidak pulang ke rumah dan mamanya tidak meneleponnya.

"Terserah deh. Kei, nggak pulang malam ini." Keira mematikan sambungan sepihak, yang membuat Keira lebih kesal lagi, karena mamanya pergi bersama Om Roby.

"Lo lagi?"

Keira melirik samping kirinya, ia melihat cewek yang menggunakan dress selutut berwarna putih, rambutnya dibiarkan tergerai. Kalau saja Keira tidak mengenal cewek itu, sudah pasti dia akan berpikir kalau sosok perempuan yang kini menatapnya tajam adalah kuntilanak.

"Lo kenapa selalu ngikutin gue, sih?" Keira kesal, di mana pun dia berada pasti Klara selalu ada.

Benar, cewek yang Keira kira kuntilanak itu-- Klara.

Klara melirik sekilas pintu ruang rawat Kenan, ia ingin sekali masuk ke dalam. Namun, melihat Keira yang berada di sini, pasti tidak akan mudah untuk masuk.

"Jangan harap lo bisa masuk ke dalam," kata Keira yang sejak tadi melihat tatapan dari Klara.

Klara menghela napas lelah, ia juga tidak berminat untuk masuk. Kenan pasti akan mengusirnya secara terang-terangan, rasa sakitnya berkali-kali lipat apabila penolakan terucap dari mulut Kenan langsung.

"Lo kayaknya jadi pacar yang baik, ya," ujar Klara seraya terkekeh. Dia duduk di sebelah Keira. Sekilas mereka seperti teman yang akrab.

"Itu bukan urusan lo," ketus Keira.

"Bagaimana rasanya, apa lo puas rebut Kenan? Apa lo puas udah buat gue malu?" Klara berkata dengan pelan, ia tertawa keras, kepalanya sudah pusing sejak pagi menerima berbagai hujatan. Padahal bukan dia yang melakukannya.

Keira bergidik ngeri mendengar suara tawa Klara, pasalnya ini malam hari dan di rumah sakit, apalagi dengan penampilan Klara yang memakai dress putih semakin membuat suasana menjadi horor.

"Berhenti ketawa, suara lo bikin telinga gue panas," gerutu Keira, dia menggeser duduknya karena tak ingin dekat-dekat dengan Klara.

"Lo emang jahat, Kei. Bahkan lo nggak mau dengar suara tawa gue," kata Klara semakin melantur.

Keira melirik kanan dan kiri, suasana di sini benar-benar sepi karena sudah malam. Keira ingin sekali masuk ke dalam ruang rawat Kenan. Dia tidak ingin mendengar celoteh Klara yang semakin aneh saja.

"Hahahaha." Klara lagi-lagi tertawa keras, wajahnya pucat dan matanya sembap. Ia banyak mengeluarkan air mata pagi ini, padahal bukan dia yang menyakiti Keira, namun, mengapa harus dirinya yang menanggung.

Keira kaget, kenapa pula Klara harus tertawa tiba-tiba seperti ini, membuat Keira hampir pingsan di tempatnya karena mengira yang tertawa setan.

"Lo udah gila, ya, Kla?!" Keira berdecak kesal, ia bangkit dari duduknya dan berniat untuk pergi, tetapi belum sempat kakinya melangkah, Klara sudah mencekal tangannya.

"Gue perlu ngomong sama lo, Kei," ucap Klara setengah memohon, ia harus meluruskan masalah ini dengan Keira. Kalau tidak pasti akan semakin rumit.

"Gue nggak punya hal yang harus diomongin sama lo," ujar Keira.

"Ini mengenai Papa lo--"

Cklek.

Pintu ruangan terbuka dan terlihatlah wajah Mama Kenan, baik Keira maupun Klara sontak saja mengalihkan atensinya.

Bersama KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang