🌱 41. Sudah terbiasa

245 25 0
                                    

Mama Keira memasuki rumahnya yang tampak sepi, dia tidak jadi seminggu di Bali karena Keira, anaknya itu tidak bisa dihubungi sejak kemarin, bahkan satu pesan pun tidak ada yang dibalas.

Belum lagi laporan dari pelayan di rumahnya, kalau papa Keira sempat datang ke rumah ini, perasaannya semakin kacau mengingat semua itu, jadi dia memutuskan untuk pulang saja.

Saat sampai di dalam, ia segera melangkah menuju kamar putrinya itu, dibukanya pintu bercat cokelat —— warna kesukaan putri satu-satunya itu. Saat pintu terbuka, dapat dilihatnya kalau Keira sedang asik makan camilan dan bermain ponsel ditemani seekor kucing.

"Kei," panggilnya.

Keira mendongak merasa namanya dipanggil, sempat terkejut walau sebentar, dia kembali menormalkan ekspresi wajahnya seperti semula. Keira heran karena dia tidak mendengar suara pintu terbuka, apa karena sejak tadi dia asik membaca wattpad seraya menghalu.

"Mama sudah pulang? Kenapa nggak bilang sama Kei?" tanya Keira mencoba santai. Walau sejujurnya dia juga penasaran akan kepulangan mamanya.

"Kamu baik-baik aja 'kan? Nggak bikin masalah?" tanya mamanya bertubi-tubi.

"Aku nggak apa-apa, kok. Nggak bikin masalah apa pun," sahut Keira dengan tenang. Dia melihat gelagat aneh mamanya.

"Yakin, huh?"

Keira segera tersenyum ceria kala mamanya memicing curiga, dia tidak boleh terlihat tengah berbohong.

"Yakin, Ma," balas Keira seraya mengelus kucing yang kini berada di pangkuannya.

"Itu kucing siapa?" tanya Mama Keira yang kini duduk di ranjang putrinya.

Keira yang sedang menunduk, kini mendongak menatap tepat ke arah mamanya yang masih memandangnya dengan curiga.

"Punya Diana, dia lagi jalan sama cowoknya," ujar Keira asal.

Keira terkekeh pelan membayangkan wajah Dian yang malu-malu saat mengatakan akan pergi dengan Julian tadi pagi. Kebetulan ini hari minggu, sangat cocok untuk jalan-jalan keluar. Sayangnya Kenan sedang ada acara keluarga, sehingga cowok itu tidak bisa mengajaknya jalan.

"Emang Diana udah punya pacar?"

"Nggak tau tuh, nggak ada yang mau ngaku," tukas Keira.

"Terus kamu kok tumben nggak keluar, biasanya juga pergi sama Kenan," kata mamanya lagi.

"Nggak, Kenan lagi sibuk, ada acara sendiri katanya," jawab Keira, ia kembali mengelus kucing yang kini malah tertidur pulas di pangkuannya.

"Kemarin Papa kamu ke sini?"

"Iya, Papa ke sini—–" Keira segera menutup mulutnya kala keceplosan.

Dia menepuk mulutnya pelan, bisa-bisanya berbicara keceplosan seperti itu. Keira melihat wajah mamanya yang tidak menampilkan ekspresi terkejut, dalam hatinya sudah curiga kalau mamanya telah mengetahui terlebih dahulu.

"Papa bicara apa sama kamu?"

"Ekhem, Papa nggak bilang apa-apa, Ma. Papa ke sini juga cari Mama," tukas Keira dengan hati-hati, takut jika perkataannya bisa menyinggung hati mamanya.

"Kenapa kamu nggak bilang, Kei? Dan kenapa kamu nggak pernah angkat telepon dari Mama, pesan pun nggak ada satu pun yang dibalas," kata mamanya dengan kesal.

"Aku cuma butuh waktu sendiri," gumam Keira pelan.

"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita sama Mama, Keira."

Keira memalingkan wajahnya lalu bergumam pelan. "Mama aja lebih milih urus pernikahan."

"Kei, kamu tau dari siapa?" Mama Keira sontak saja terkejut, karena ia berniat untuk memberi tahu Keira nanti.

"Jadi bener ya? Aku bahkan tau dari orang lain."

"Bukannya gitu, Kei, tapi Mama–—"

"Udah, Ma. Nggak perlu jelasin apa pun. Mama dan Papa sama aja, lebih milih urusan masing-masing dari pada aku," kata Keira marah.

Keira yang sudah terlanjur kesal, kini lebih memilih untuk bangkit dari duduknya dan keluar dari kamarnya. Merasa kekesalannya belum mereda, ia berjalan menuju ke luar rumah sembari menggendong Yeppo–—nama dari kucing Diana.

____

Keira memutuskan untuk jalan-jalan di taman sekitar kompleks perumahannya, Yeppo masih berada di gendongannya, sejak tadi kucing milik Diana ini lebih banyak diam ketimbang bergerak, seakan tahu kalau suasana hati Keira tidak begitu bagus.

Setelah capek berkeliling, dia duduk di bangku taman, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang, tidak terlalu ramai walau hari minggu. Saat Keira tengah asik menikmati pemandangan, dia dikejutkan dengan kedatangan papanya.

"Kei."

"Papa kenapa ada di sini?" tanya Keira bingung, setahunya papanya ini tidak memiliki teman yang rumahnya berada di sekitar sini.

"Papa mau ketemu sama kamu," katanya.

"Kan kemarin udah ketemu, Pa. Emang ada hal penting apa sampai Papa repot-repot ke sini?" tanya Keira lagi seraya tersenyum samar.

"Emangnya harus ada hal penting dulu, supaya Papa bisa ketemu sama kamu, Kei."

Keira memalingkan wajahnya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya sangat canggung berbicara dengan papanya sendiri. Padahal dulu ia ingat sekali sangat dekat dengan papanya ini.

"Ya, nggak juga sih," gumam Keira.

"Kalau begitu Papa ingin ngobrol sebentar sama kamu."

"Di sini, Pa?" tanya Keira sembari menatap sekelilingnya.

"Terserah, atau mau di rumah Mama kamu aja?" tanya papanya.

"Nggak perlu ke rumah, Pa. Mending di sini saja," kata Keira buru-buru mencegah.

"Dua hari lagi ulang tahun Oma, kamu nggak lupa 'kan? Dan Papa harap kali ini kamu bisa hadir. Selama ini kamu nggak pernah datang, seluruh anggota keluarga kangen sama kamu."

Keira diam membisu, ia sadar selama ini selalu mengabaikan apa pun yang berkaitan perkumpulan antar anggota keluarga. Baik dari pihak papanya maupun mamanya. Dia enggan untuk hadir dengan berbagai alasan.

"Hm, akan Keira pikirkan nanti," balasnya tak yakin.

Karena sebelumnya pun, Keira selalu mengatakan akan datang, namun hasilnya nihil. Cewek itu tidak pernah muncul, membuat seluruh anggota keluarganya berpikir kalau hubungan Keira dengan keluarganya tidak baik.

"Papa minta tolong, kali ini saja kamu datang, Kei."

"Emang penting banget, ya, Pa?" tanya Keira dengan malas.

Rasanya dia terlalu malas untuk menghadiri acara pesta seperti itu, apalagi sejak perceraian kedua orang tuanya, Keira sama sekali tidak berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Bahkan dulu ia sempat ikut mamanya ke luar negeri.

"Mereka semua kangen sama kamu, Kei. Apalagi sejak ke luar negeri, kamu semakin nggak bisa dihubungi," kata papanya sedih.

Keira memalingkan wajahnya, dia tidak ingin mengingat masa-masa sulit itu. Bahkan sampai sekarang pun sakit hatinya belum reda, meski perlahan dia mencoba untuk menerima dan ikhlas bahwa keluarganya tak bisa bersama lagi.

"Kei kayak gini juga gara-gara Mama sama Papa."

Papa Keira terkejut mendengar pengakuan putrinya, walau terlihat biasa saja saat mengucapkannya, entah mengapa dia bisa melihat rasa sakit hati yang dirasakan putrinya itu.

"Papa minta maaf, Kei."

Keira menghela napas lemah, sejujurnya ia tidak ingin menjadi lemah seperti sekarang, kalau bisa ia juga ingin kembali dekat dengan papanya seperti dulu lagi. Namun, semuanya terasa sulit bagi Keira.

"Pa, kayaknya Kei harus pulang, Mama pasti khawatir di rumah."

Tak ingin berlama-lama merasakan kesedihan, ia bangkit dari duduknya dan izin untuk pulang, meskipun sempat dicegah oleh papanya, tapi Keira yang keras kepala tetap memilih untuk tetap pulang.

___

Bersama KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang