06

1.3K 304 90
                                    

Hari libur natal tiba, ruangan asrama tampak sepi. Ivy merasa senang karena bisa leluasa tidur di kamarnya. Ia tak pulang tentu saja kemana ia akan pergi. Dirinya mengharap tumpukan hadiah dan makanan yang datang. 

Semenjak pertandingan Quidditch Ivy ingin berdamai dengan perasaannya, ia mengubah taktik tak baik jika melibatkan perasaan dan emosi disini. Ia hanya akan berfokus pada kejadian penting tak mau berkutat pada pria dingin menyebalkan itu lagi, ia juga menjadi lebih penurut dan lembut pada pria itu. Ia menyesali kenapa harus dirinya yang merasa sakit sendiri, ia yakin akan membuat pria itu luluh padanya. Ivy juga mulai menceritakan sedikit hal kepada Snape tak peduli jika pria itu hanya ingin memanfaatkannya toh ini juga demi kebaikan dunia sihir ini.

Di pagi natal Ivy menggeliat dan merasakan hawa dingin menyentuh tubuhnya.

"Selamat Natal Ivy." Ucapnya sambil tersenyum. Ia melihat tumpukan hadiah yang ia dapatkan dari orang-orang yang ia kenal.

Kado yang pertama dari  Hagrid, sebuah burung hantu bewarna coklat dengan sedikit bulu-bulu putih di sayapnya. Ivy penyuka hewan kecuali ularnya voldemort, ia mencoba membuka sangkar burung itu dan mengelusnya. Ia senang karena bisa mendapat alat komunikasi, dirinya terkikik geli seperti jaman penjajahan saja tak ada ponsel.

Kado kedua dari Hermione, Ivy pasti menebak itu berisi tumpukan buku dan benar saja gadis itu memberikannya beberapa buku yang mungkin berguna bagi Ivy nanti. 

Ivy tertarik dengan bungkusan besar yang ternyata dari Dumbledore. Isinya banyak sekali coklat kodok, permen dan juga jubah Gryffindor. Meskipun Ivy sedikit tak suka dengan Dumbledore yang memanfaatkan luka Snape, ia tetaplah penyihir yang bijak dan hebat sepanjang masa.

Mata Ivy sedikit tertarik dengan bungkusan yang tampak biasa saja hanya berwarna monokrom. Tangannya membuka kertas itu tak ada tulisan pengirim kado itu, hanya ada sepucuk surat.

'Terima kasih atas kebaikanmu aku sudah mencucinya'

Sebuah tulisan yang singkat tapi Ivy tahu siapa pengirimnya. Meskipun itu hanyalah syalnya sendiri, namun ia cukup senang pria itu sedikit peduli padanya.

Ivy lalu menarik syal itu keluar dan ternyata ada kepingan galleon berjatuhan dan ada sepucuk surat lagi.

'Satu hal lagi, terima kasih sudah membantuku anggap saja sebagai bayaranmu.'

'Selamat natal gadis konyol'

Muncul semburat merah dipipinya, Ivy terus-terusan tersenyum membaca surat itu seperti orang idiot. 

"Dasar Severus Snape, memangnya dia digaji berapa sih di Hogwarts" ucapnya lalu memukul-mukul bantalnya meluapkan rasa senangnya.

Ivy merasa ini sulit, ia menyukai Snape tapi dirinya tahu di hati pria itu hanya ada Lily. Ia ingin membuat pria itu jatuh cinta padanya meski terlihat mustahil, namun bagaimana nanti jika Snape melupakan tugasnya melindungi Harry Potter. Dirinya seakan memaklumi tindakan Dumbledore karena ini juga adalah upaya untuk menjaga dunia sihir agar bebas dari ancaman orang tanpa hidung itu.

Ivy tertawa sumbang pada dirinya sendiri. Sepertinya tak ada harapan yang terlihat untuk dirinya, ia harus belajar mengabaikan perasaannya itu dan mencari pria lain. Lagipula Hogwarts tak kekurangan pria tampan.

Memangnya siapa dirinya, hanya seorang gadis labil yang mengagumi om-om seperti Severus. Ia menggelengkan kepalanya, bisa-bisa dirinya gila jika terus memikirkan orang itu.

Sedangkan di tempat Snape

Seperti biasa dia tak mendapat banyak hadiah hanya dari kalangan guru seperti Dumbledore, Minerva yang tak pernah absen memberinya sesuatu. Ia kesal karena Albus selalu memberikannya makanan anak kecil dipikir dirinya masih balita atau apa.

The Last HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang