42. Encounter

825 50 21
                                    

Empati itu harus dipupuk dan dipelihara. Tapi, kalau setelah berulang kali bertemu masih merasa sakit, apakah masih layak untuk untuk dipertahankan?

.Nabilah Ayu Laksmana Putri.



Author Pov

Sudah lewat sebulan Nabilah menjalani rawat inap di rumah sakit milik keluarga Shani. Sebulanan ini pun dia ditemani oleh kakak – kakaknya. Tidak ada yang istimewa. Justru rasa canggung tiap hari semakin menjadi. Tampaknya, Shani bukan tipe orang yang segampang itu memaafkan kesalahan orang lain.

30 hari lebih berada diruangan yang sama, Nabilah sama sekali enggan menunjukan rasa bosannya. Bagaimana tidak? Kalau hampir setiap hari dirinya hanya melamun. Entahlah, semenjak terbangun di pagi hari itu, tatapan matanya selalu berubah kosong. Nabilah menjadi lebih pendiam dan sensitif. Tidak ada lagi Nabilah yang tengil, ceria, ataupun ngambek ketika kakak – kakaknya menghujaminya dengan jurus seribu ciuman basah diwajahnya.

Yeah, She is totally not being OK!

Merasa sulit untuk menutup matanya kembali. Nabilah kembali memandang langit – langit kamar inapnya. Pengaruh obat yang seharusnya membuatnya merasa kantuk, seolah tidak ada apa – apanya dan tak berefek. Dua kapsul berwarna putih dan orange itu, telah kalah dengan rasa takutnya untuk kembali ke alam mimpi. Jelas sekali, terlihat dari kantong matanya yang sudah enggak bisa dikatakan normal lagi.

"Aku kenapa?"

Pertanyaan yang berujung seperti nada cekikan itu tiba – tiba terdengar dipendengaran Shani. "Hah?" Shani mendongak. Secepat mungkin, dia menatap wajah samping sosok yang dia jaga sebulanan ini.

"Kenapa mereka pengen aku mati?" lirihnya lagi. Pandangan gadis ayu itu masih sama, lurus menatap langit – langit berwarna abu – abu diatasnya.

Mengerjap cepat, Shani berusah mencerna apa yang sedang terjadi. Adiknya ini pasti sedang mengalami delusi lagi. Tanda bahwa gejala penyakitnya sedang kambuh.

"Hei.., e-nggak ada yang bilang begitu. Semua itu bohong. Cuman bercanda aja sayang.."

Enggak ada yang bisa Shani perbuat, ikut larut dalam permainan adiknya adalah satu – satunya cara supaya adiknya itu enggak kembali histeris. Cukup baginya sebulan ini sosok adiknya itu merintih sakit. Pusing dengan rekaman memori masa lalunya yang tiba – tiba bermunculan layaknya bom waktu yang meledak dan sangat mengguncang kejiwaanya.

Berlebihan kah? Entahlah. Sebab, Shani pun juga tak mengharapkan semua ini terjadi. Ayolah, kenapa dari sekian kenangan masa lalunya, harus yang terburuk yang adiknya Shani itu kenang?!

Apakah ini bentuk keadilan Tuhan? Rencana-Nya? Yang jelas, Shani hanya sanggup bersabar dan terus berdo'a – memohon kekuatan untuk menetralkan dirinya. Tuhannya yang dia dan adiknya yakini itu, pasti akan menolongnya. Iya kan?! Shani juga sangat perlu untuk menjaga ambang kewarasannya. Kepada siapa lagi dia akan bergantung jika bukan dengan kepercayaan-Nya? Sebab, hanya sosok dirinya seoranglah, Shani merasa bahwa adiknya itu akan terjaga dan tak tersakiti oleh siapapun lagi.

"Mereka terus ngomong.. kalau aku anak yang gak baik, aku anak bodoh dan mengecewakan.."

Masih dengan posisinya berbaring, Nabilah mengadukan bisikan – bisikan kecil yang dia terima semenjak dirinya membuka mata. Kondisi Nabilah sekarang memang memprihatinkan. Seolah sulit sekali gadis remaja itu mendapat ketenangan – terbangun dengan suara – suara yang selalu menggema mengejeknya atau tertidur dan bertemu mimpi buruknya lagi.

"A-ku, kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa aku gak bisa jadi anak baik?"

Disaat yang seperti ini, Shani sedikit bersyukur karena pandangan mereka berdua tak bertemu. Air mata yang tak pernah dia duga hari ini akan tergenang, kembali meluncur melewati pipinya yang ikut menirus – akibat karena ikut begadang menemani Nabilah sepanjang malam.

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang