6. Ajakan

883 63 3
                                    

Icha Pov

Saat ini untuk pertama kalinya aku pulang ada seseorang yang menemani selain Pak Anto. Jujur, aku seneng banget, tau kalo ci Sinka ternyata satu sekolah denganku.

Memang selama satu bulan sekolah ini aku terus menyibukan diri dengan fokus kepelajaran, latihan SM, dan toko roti bunda. Aku melakukanya bukan tanpa sebab.

Aku pikir, ketika aku terus menyibukan diri aku akan lebih muda untuk move on. Tapi ternyata, masih ada rasa hampa yang aku rasakan.

Kehadiran ci Sinka yang tak terduga membuat rasa hangat tersendiri dihatiku. Mungkin ini memang jalannya sang takdir. Ketika ada yang pergi, ada juga yang akan datang.

"Cha.. cici beneran minta maaf. Kamu boleh bilang apapun yang kamu mau. Cici akan menebusnya?"

Lagi - lagi ci sinka berkata demikian. Sedari tadi aku hanya diam, bukan karena aku masih marah denganya tetapi karena aku terlalu menikmati usapan lembutnya dikepalaku. Ya, ci sinka akan selalu seperti ini jika kita sedang berdua. Memanjakan aku, seolah - olah aku ini beneran adiknya.

"Rumah cici dimana? Biar aku anter cici pulang dulu." Kataku tanpa menjawab pertanyaanya.

"Cha.. cici beneran minta maaf. Tolong maafin cici..."

Tuh kan? Ini sudah kelima kalinya semenjak kita dimobil. Padahal kan aku sudah menjelaskan kalau aku sudah memberinya maaf, hanya saja, aku masih sulit menghilangkan rasa kecewaku.

"Cici beneran pengen aku marah hemm.." Ucapku sedikit medongakan kepalaku kearahnya. Kulihat matanya masih saja berkaca- kaca. Hadeuh, sepertinya, ci Sinka benar - benar merasa bersalah.

"Ci.. aku akan berusaha untuk gak kecewa lagi sama cici dan ci omi. Dan aku gak mau minta janji - janji lagi kalau itu sulit untuk ditepati." Jujurku.

Kurasakan tangan ci Sinka semakin menggenggam tanganku erat. "Maafin cici yaa, maafin cici.."

Huft, aku menghela napas panjang. Rasanya agak percuma bilang ke ci Sinka kalau dianya sudah keras kepala begini.

"Ci sinka denger ya.. A KU, U DAH MA A FIN CI CI." Dengan sengaja aku menekan setiap suku katanya, membuat ci Sinka malah semakin erat memelukku. Kepalanya berada diceruk leherku, tanganya melingkar dipinggangku kuat. Seolah aku, enggak akan pernah dia biarkan jauh lagi.

Helaan napas kembali berusaha aku keluarkan. Memang sih, keras kepalanya ci Sinka itu, audzubillahimindzalik.. susah poll diluluhinya.

Mencari cara untuk mengalihkan suasana, mataku mulai menengok isi tas yang ci SInka bawa. Seperti dugaanku, pasti ada sebuah alat game disana. Sebuah ide pun tiba - tiba muncul dikepalaku. "Ci.... beneran mau ngabulin apapun yang kumau kan?" Tanyaku.

Dan, sesuai dugaan, ci Sinka langsung melepaskan pelukannya dan mengangguk - angguk antusias. "Cici masih suka main game ya? Itu nitendonya boleh buat Icha aja kan? Ya ya ya...." Ucapku sambil menunjuak benda yang mirip Hp ditasnya ci Sinka, lengkap dengan smrik evil yang membuat ci Sinka siaga.

Wajah ci Sinka lucu tak dapat diartikan. Antara bingung, gak mau ngasi, tapi juga butuh menepati janji.

"Ehmm.. itu.. itu... chaaaaa." Katanya pada akhirnya dengan wajah memelas." Cici nabung dulu ya... cici beliin yang baru. Jangan itu, nanti cici pinjemin aja yaa kalo mau main yang itu. Yaa.." Lanjutnya.

"HAHAHA.." Seketika tawaku pecah. Aku gak bisa tahan liat muka kawai ciciku satu ini. Apalagi kalau sudah melas begini.

Yaps! Asal kalian tahu permirsa. Ciciku yang sangat cantik ini selalu lemah kalau menyangkut alat gamersnya. Dulu sewaktu kecilpun, dia paling anti kalau maenan gamenya direbut atau dirusakin. Dan apa - apa jika meminta hadiah, pasti alat gamers terbaru.

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang