8. It Hurts!

824 61 9
                                    

Shania Pov

Sudah hampir seminggu semenjak kejadian itu. Pandanganku tentang anak itu perlahan mulai berubah. Entah gimana bisa adik kelas satu itu bisa memiliki daya tarik sendiri, Icha, panggilannya, terkadang mampu membuatku merindu.

Matanya yang lentik, bibir mungilnya, Oh bahkan wangi tubuhnya pun bisa membuatku ingin terus sekedar bertemu sapa dengannya. Aneh kan? Tapi ya memang begini adanya. Jujur, aku sendiri enggak tau kenapa bisa merasa ingin sedekat ini denganya. Rasanya, enggak melihatnya sehari, bisa membuatku kelimpungan sendiri. Kepo dengan apa yang dia lakukan.

Sejak pertemuan pertama kita beberapa hari yang lalu. Hatiku terus bertanya – tanya.
Apakah mungkin, jika memungkinkan gadis itu adalah adik kecilku?

Semakin kulihat wajah manisnya, semakin sering aku menemukan kemiripan antar aku, dia, dan saudariku yang lain. Ada bisikan kecil dihatiku yang mengatakan jika kemungkinannya adalah IYA. Tetapi, realita langsung saja menyadarkanku. Enggak mungkin kan? Orang yang sudah meninggal hidup lagi? Renkarnasinya masa?

Eh, apa iya?

Banyak hal yang membuatku ragu. Warna matanya juga enggak serupa dengan yang kami miliki. Dan juga, seingatku tidak ada tanda lahir dipipi adikku. Selain itu, dulu sewaktu kecil, adikku itu begitu mirip dengan Kak Veranda. Tetapi, sekarang..

Brugh!

"Shania fokus!" Teriak kak Kinal.

"Aduh." Aku sedikit meringis karena pantatku terasa panas akibat terjatuh tiba – tiba. Aku melamun, sampai - sampai enggak sadar kalau ada bola yang dipassing kearahku.

"Kakak gapapa?" Ucap seorang gadis yang sejak tadi menjadi bahan lamunanku.

"Gak." Tanpa peduli dengan uluran tanganya, aku berjalan menjauh. Agak nyesek sih sebenernya, tapi aku enggak boleh terlihat terlalu ramah dengannya. Masa iya, cuman gegara mirip Dedek, aku harus baik - baikin dia sih? Enggak kan?

"Sabar Cha.." Suara Sinka tak sengaja masuk kependengaranku. Kulirik sekilas kearah mereka. Icha yang hanya menatapku datar dan Sinka yang berusaha menenangkannya.

Oh ayolah Shan.. apa peduli Lo coba! Teriakku pada diri sendiri. Kalau boleh jujur, aku ingin pake banget balik badan dan menghampiri mereka berdua. Datang kesisi Icha, berucap makasih atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, faktanya kita enggak mungkin melakukan itu. Lagipula, sedalam – dalamnya aku merindukan Nabilah, aku gak boleh sampai menganggap orang lain dia bukan?

Iya Shan, Lo jangan sampe nganggep orang lain adek Lo. begitulah sahutan sebuah suara dikepalaku.

Latihan terus berlanjut. Seperti biasa, diakhir latihan kami selalu mengadakan evaluasi. Aku dan seluruh anak tim begitu seksama mendengarkan penuturan Kak Kinal. Sampai pada akhirnya, pertanyaannya membuat kami semua syok. Eh, bukan karena subtansi pertanyaannya, tetapi ditujukan kepada siapa kalimat tanya itu.

"Jadi, kira – kira apa yang kurang dari latihan kita?" Tanya Kak Kinal sekali lagi kepada anak itu.

Awalnya, aku pikir hanya salah denger atau mungkin salah tafsir. Tapi setelah Kak Kinal menekankan kembali ucapanya, aku bener - bener yakin kalau Kak Kinal memang memandang istimewa sosok adik kelasku ini.

Bisa kurasakan jika tidak hanya aku, tetapi anak – anak tim lain juga merasa cemburu. Pasalnya, sejak Kak Kinal mengumumkan bergabungnya dia seminggu yang lalu, Icha hanya baru satu kali ini bergabung dengan latihan tim basket putri dan dia sudah mendapatkan pertanyaan itu. Jadi, wajar aja kan, kalau kami menganggap Kak Kinal mengistimewakan dia?

"Gak biasa - biasanya Loh, Kak Kinal begini." Desis Beby disebelahku. Sepertinya, wakilku ini mulai terpancing lagi emosinya. Memang sih, sejak kejadian waktu itu, Beby begitu sensitif dengan yang namanya Icha.

How ImportantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang